1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Apakah KTT Iklim Cancun Akan Hasilkan Sesuatu?

25 November 2010

Kecil harapan adanya terobosan dari KTT Iklim yang akan dibuka di Cancun, Meksiko, hari Senin (29/11) mendatang. Pasca kegagalan di Kopenhagen tahun 2009, jurang antara negara maju dan negara berkembang semakin lebar.

https://p.dw.com/p/QHu9
Logo KTT Iklim Cancun, Meksiko

Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim akan kembali digelar. Kali ini, di Cancun, Meksiko. Selama 2 minggu, mulai hari Senin (29/11) mendatang, berbagai negara, perusahaan multinasional dan organisasi non-pemerintah akan kembali duduk bersama untuk memecahkan masalah perubahan iklim dunia.

Sebelumnya, KTT Iklim di Bali tahun 2007 telah menghasilkan peta jalan menuju implementasi kerjasama jangka panjang. Namun pada akhir tahun 2009, KTT Iklim di Kopenhagen gagal menghasilkan kesepakatan antara negara maju dan negara berkembang.

Melihat stagnasi yang telah terjadi bertahun-tahun, KTT Iklim kali ini akan dimulai dengan tingkat harapan yang rendah. Apalagi pemimpin-pemimpin negara tidak direncanakan hadir. Seakan patah arang, para pelobi mulai melihat upaya PBB dalam mengatasi perubahan iklim tak lagi memiliki masa depan.

Namun negara-negara Uni Eropa masih berharap banyak dari Cancun, seperti diungkapkan Komisaris Uni Eropa untuk Perlindungan Iklim, Connie Hedegaard, "Apa saja yang telah terjadi setelah Kopenhagen? Iklim belum membaik. Dua belas bulan terakhir merupakan tahun terpanas sepanjang sejarah. Tantangan tetap ada. Kita harus mengatasinya. Dan setiap tahun kita menunda-nunda, pada akhirnya akan lebih mahal dan lebih sulit untuk diatasi."

Para aktivis lingkungan masih optimis, negara-negara peserta KTT dapat mencapai kesepakatan dalam isu-isu sampingan, seperti pembatasan penebangan hutan dan transfer teknologi. Sekretaris Badan PBB yang mengurusi perubahan iklim atau UNFCCC, Christina Figueres, melihat kesepakatan-kesepakatan kecil semacam ini sebagai indikasi kemajuan.

Meski belum berhasil dalam skala global, Figueres memuji upaya sejumlah negara dalam skala nasional, "Kita melihat meningkatnya jumlah negara yang tidak hanya mengambil kesempatan untuk mengurangi gas emisi dengan serius, namun juga memasukkan pengurangan gas emisi kedalam kebijakan nasional dan undang-undang internasional."

Salah satu contohnya adalah Cina. Dalam beberapa bulan terakhir, Cina telah menyusul Amerika Serikat dalam menduduki posisi pertama negara penghasil gas emisi terbesar di dunia. Meski Cina enggan menandatangani perjanjian internasional untuk mengatasi perubahan iklim, kredibilitas Cina meningkat setelah berkomitmen untuk menjalani pembangunan berkelanjutan dan menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.

Menurut data organisasi lingkungan Greenpeace, Cina menjadi investor energi terbarukan terbesar di dunia, dan membuat rata-rata dua turbin angin setiap jam. Pasar domestik Cina di sektor energi angin telah berlipat ganda dalam empat tahun terakhir. Walau tak dapat dipungkiri, lebih dari 90 persen persediaan listrik Cina masih dihasilkan pembangkit listrik energi batubara.

Negara lain yang menunjukkan komitmen tinggi adalah Jerman. Menteri Lingkungan Hidup Jerman Norbert Röttgen melihat target ambisius dalam mengatasi perubahan iklim sebagai peluang untuk menguatkan perekonomian dan posisi Jerman di mata dunia. "Jerman bukanlah negara adikuasa militer. Kami juga bukan polisi perdamaian di daerah-daerah konflik. Namun dalam isu global yang menyangkut masa depan seperti ini, Jerman memiliki potensi pengaruh yang besar dan tanggung jawab yang luar biasa yang ingin kami capai," ujar Röttgen.

Komitmen Jerman dalam mengurangi emisi karbondioksida jauh melampaui target Uni Eropa. Uni Eropa masih membicarakan pengurangan emisi karbondioksida sebanyak 20 persen sampai tahun 2020, sedangkan Jerman telah mematok angka 40 persen.

Komitmen semacam ini yang diharapkan lahir di Cancun. Masalah yang paling mendesak adalah dana iklim internasional yang telah dibicarakan di Kopenhagen. Investasi tak hanya diharapkan datang dari sektor publik, namun juga dari sektor swasta. Karena setiap tahun, perlindungan iklim membutuhkan dana sebesar 100 miliar Dolar atau sekitar 900 ratus triliun Rupiah.

Carissa Paramita/dpa

Editor: Dyan Kostermans