1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Iran Takut Akan Kekacauan di Afganistan

Shabnam von Hein
27 Oktober 2021

Teheran menggelar konferensi dengan negara-negara tetangga Afganistan tentang masa depan politik dan pembentukan pemerintahan baru di negara tersebut, tapi tanpa kehadiran Taliban.

https://p.dw.com/p/42FK5
Penjaga perbatasan Iran di pos pemeriksaan perbatasan Irak - Afganistan di Milak, tenggara provinsi Sistan-Baluchestan
Pos pemeriksaan di perbatasan Iran dengan Afganistan di Milak, tenggara provinsi Sistan-Baluchistan.Foto: Abedin Taherkenareh/dpa/picture alliance

Iran menggelar pertemuan tingkat menteri luar negeri bersama negara-negara tetangga Afganistan dan perwakilan Rusia pada Rabu (26/10) untuk membahas masa depan politik serta pembentukan pemerintahan baru Afganistan. Konferensi yang diorganisir oleh Kementerian Luar Negeri Iran di Teheran tersebut diikuti oleh menteri luar negeri Iran, Cina, Pakistan, Tajikistan, Uzbekistan, Turkmenistan dan Rusia.

Perwakilan "Emirat Islam" alias pemerintahan Taliban "belum" diundang, seperti dilansir media Afganistan TOLO News.

Iran dan Afganistan berbagi perbatasan sepanjang hampir 1.000 kilometer. Oleh karena itu kepentingan keamanan Teheran di Afganistan juga besar. 

Kawasan perbatasan wilayah kedaulatan Iran terutama dihuni oleh minoritas Sunni. Sementara mayoritas penduduk Iran adalah Syiah. Kelompok minoritas Sunni di Iran itu telah lama mengeluhkan diskriminasi oleh otoritas Iran.

Akibat infrastruktur yang buruk dan kurangnya fasilitas kesehatan dan pendidikan, daerah-daerah di perbatasan Afganistan tersebut adalah yang termiskin dan paling tidak berkembang di Iran.

Teheran desak pemerintahan "inklusif" di Kabul

"Iran menginginkan perdamaian di Afganistan  dan tidak menghendaki kekerasan dan terorisme", kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Said Chatibsadeh pekan lalu. Iran mendukung pemerintahan inklusif, di mana semua kelompok politik terwakili. Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid pada hari Minggu menyambut inisiatif Teheran dan mengungkapkan harapan agar hasilnya dapat menguntungkan Afganistan.

Euforia awal di Iran tentang penarikan Amerika Serikat dari negara tetangga telah menguap, dan suasananya telah berubah. "Iran telah salah perhitungan,” tutur Fatemeh Aman, pakar tentang Iran di Institut Timur Tengah (Middle East Institute) yang berbasis di Washington, kepada DW. "Struktur kepemimpinan Taliban memiliki banyak lapisan, rumit, tidak transparan. Itu membuat negosiasi dengan mereka sulit, dan tidak hanya bagi Iran.”

Iran sudah memulai negosiasi dengan perwakilan Taliban sebelum penarikan pasukan internasional dari Afganistan, kemungkinan dengan harapan mereka nantinya dapat memiliki pengaruh di negara tersebut. Kepemimpinan Iran pun secara eksplisit menyambut kembalinya kekuasaan Taliban di Afganistan dan menyerukan pembentukan cepat pemerintahan dengan partisipasi semua kelompok politik.

Minoritas Syiah dalam tekanan

Sayap radikal, seperti jaringan Haqqani yang memiliki ikatan kuat dengan Pakistan, terlihat jelas memiliki pengaruh dalam Taliban. Sirajuddin Haqqani, salah seorang putra Jalaluddin Haqqani, yang mendirikan jaringan tersebut pada tahun 1980an pada masa perlawanan terhadap pendudukan Uni Soviet, misalnya, telah menjadi menteri dalam negeri baru Afganistan. Haqqani diyakini sebagai dalang dari berbagai pembonan bunuh diri selama 15 tahun terakhir dan berada dalam daftar buronan Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI).

Minggu lalu Sirajuddin Haqqani menawarkan bantuan ekonomi, antara lain lahan pertanian, kepada keluarga pelaku bom bunuh diri dari jajaran Taliban. Tanah pertanian itu, tampaknya, akan dirampas dari warga minoritas Syiah. Human Rights Watch melaporkan, anggota Taliban mengusir anggota etnis dan agama minoritas Hazara dari desa-desa mereka di utara Afganistan yang subur, untuk merampas properti mereka. Kebanyakan anggota etnis Hazara menganut ajaran Syiah dan mereka secara sistematis ditindas Taliban yang menganut ajaran Sunni.

Pengaruh terbatas Teheran

Politik pengambilalihan paksa ini semakin memperburuk perbedaan pendapat di Teheran, terkait bagaimana Iran harus menghadapi kelompok radikal Taliban. Mahmoud Ahmmadi, anggota Komisi Keamanan Nasional dan Kebijakan Luar Negeri di parlemen Iran pada hari Minggu lewat akun Twitternya menulis, "di mana mereka yang ingin [membersihkan nama] Taliban dan mengklaim bahwa Taliban telah berubah?" Komentar Ahmmadi ini ditujukan kepada kelompok politik di Teheran yang meyakini Taliban telah menjadi lebih moderat dan bukan lagi gerakan Islam radikal seperti beberapa dekade lalu.

"Iran terutama khawatir akan kemungkinan timbulnya perang saudara di Afganistan,” kata pakar Iran Fatemeh Aman. "Perbatasan panjang dengan Afganistan sulit untuk diamankan karena kondisi geografisnya. Kekacauan di Afganistan dapat mendorong penyelundupan narkoba dan manusia, tapi juga senjata dan amunisi ke daerah-daerah yang merasa ditelantarkan. Sebagai satu-satunya cara untuk mempengaruhi, Iran bersama negara-negara tetangga berupaya menggerakkan Taliban agar membentuk pemerintahan inklusif dengan partisipasi kelompok minoritas dan kaum perempuan. (vv/as)