1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

“Kalau Anda Yakin COVID Itu Tidak Ada, Berempatilah!"

Prihardani Ganda Tuah Purba
7 Juli 2021

Dalam wawancara eksklusif kepada DW, salah satu inisiator Pandemic Talks berbicara tentang penanganan pandemi di Indonesia dan istilah ‘herd stupidity’ yang belakangan banyak diperbincangkan.

https://p.dw.com/p/3w8HI
Foto ilustrasi: Situasi Pandemi COVID-19 di Jakarta
Foto ilustrasi: Tenda darurat dibangun menyusul lonjakan drastis kasus COVID-19 di IndonesiaFoto: Donal Husni/ZUMAPRESS/picture alliance

Berawal dari kegelisahan yang sama akan situasi dan kondisi pandemi COVID-19 di Indonesia, dr. Muhammad Kamil beserta dua rekannya akhirnya menginisiasi sebuah platform data dan info COVID-19 di Indonesia bernama Pandemic Talks.

Saat ini Pandemic Talks bisa dikatakan sebagai salah satu platform terbesar karena di Instagram (IG), mereka sudah berhasil mengumpulkan pengikut lebih dari 300 ribu orang.

Bagaimana Pandemic Talks melihat penanganan pandemi COVID-19 di Indonesia, dan sepakatkah mereka dengan istilah 'herd stupidity' yang belakangan banyak diperbincangkan? DW mewawancarai salah satu inisiator dari Pandemic Talks, yaitu dr. Muhammad Kamil.

Pertanyaan pertama bisa dijelaskan apa gagasan utama di balik dibuatnya Pandemic Talks?

Kami bertiga [inisator] merasa punya vibe yang sama dan kami bertemunya di online. Kami resah terutama soal gap informasi di masyarakat. Sebenarnya awalnya iseng, kami hanya ingin berbincang kemudian direkam di podcast, dan kami memilih platform Instagram karena kami merasa di Instagram itu masih kosong dari sisi informasi terkait COVID-19. Kemudian sambil berjalan, kami juga membuat grafis yang berisi informasi mengenai pandemi, bukan dari sisi kesehatan saja tapi dari semua sisi. Timnya sekarang sudah 30-an orang. Semuanya relawan dan tidak ada funding.

Yang kami lakukan hanya me-repackage informasi dalam bentuk grafis dan obrolan untuk dibagikan ulang sebenarnya. Kami tidak punya akses informasi khusus kayak intelijen, jadi kami sama seperti masyarakat bahwa data yang kami sajikan kebanyakan bisa diakses orang dengan mudah. Kami tidak menempatkan diri bahwa kami yang paling benar, tapi ini lho ada sumber ini, datanya kami sampaikan.

Pernah dapat cap buruk dari pengikut di IG karena konten yang dibagikan?

Banyak sekali. Sebenarnya tergantung sudut pandangnya. Kalau dari politik biasanya dibawa-bawa ke pilihan pemilu, cebong-kampret, itu selalu terjadi. Atau misalnya ketika kita kontennya tips untuk menilai hoaks atau misinformasi, banyak yang mengira kita adalah kontra dari akun-akun konspirasi.

dr. Muhammad Kamil, Inisiator Pandemic Talks
dr. Muhammad Kamil, Inisiator Pandemic TalksFoto: Privat

Saya dengar Anda pernah dikritik juga oleh sesama dokter karena dinilai menakut-nakuti?

Iya sering. Scaremongering itu sudah kayak cap kita. Tapi kami jadi belajar banyak masalah komunikasi sains dan komunikasi krisis yang seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menyampaikannya ke semua kalangan.

Dari publik pernah ada yang sampai marah-marah DM kita. Dan marahnya sampai di luar konteks seperti menyinggung masalah korupsi bansos atau minta menggratiskan tes COVID-19. Masyarakat harus tahu bahwa Pandemic Talks itu bukan kaki tangan siapa-siapa. Kita hanya akun Instagram istilahnya.

Meski begitu, di satu sisi ini jadi latihan buat kami untuk memahami bahwa kita memang hidup di komunitas yang seperti ini.

Sejak awal Anda pasti sudah banyak berkecimpung melihat data-data seputar COVID-19 di Indonesia, apa menurut Anda yang perlu dilakukan agar pandemi di tanah air cepat selesai?

Kalau dari kaca mata saya, komponennya ada tiga. Seperti tripod. Kalau salah satunya pincang pasti jatuh. Jadi ada sistem kesehatan, pemerintah, dan modal sosial. Kalau salah satunya pincang, ya sudah kita mungkin akan susah melawan wabah ini. Dan jelas-jelas Indonesia bakal pincang karena sistem kesehatannya kalau tidak ada wabah pun sudah sangat punya kekurangan, mulai dari SDM hingga infrastruktur. Sudah kurang, ada pula ketimpangan di Jawa dan non-Jawa, meski sebenarnya ada senjatanya. Senjatanya itu namanya puskesmas. Di setiap kecamatan di Indonesia itu ada.

Yang kedua, pemerintahan. Pemerintah kita bisa menilai secara awam, dan mungkin di pemerintah sendiri, kita menuai sistem politik yang sudah lama juga ya, mungkin ahli politik bisa membahasnya. Tapi istilahnya pemerintah di Indonesia sangat bergumul untuk bisa secara baik menangani pandemi.

Yang ketiga modal sosial. Menurut saya kebertahanannya orang Indonesia akan wabah dan bencana itu dari dulu sudah bagus. Sayangnya itu tereksploitasi habis sampai sekarang. Maksud saya begini, orang kita kan biasa kalau ada bencana, langsung ikhlas gitu kan, diterima, dilawan. Di satu sisi itu sangat bagus karena ada gotong royong, satu kampung membangun bersama. Tapi kalau hanya itu yang dieksploitasi, dan pemerintah dan sistem kesehatannya tidak bisa mengimbangi modal sosial, menurut saya output-nya pandemi ini bakal lama.

Pandemic Talks hanya bisa memberikan pandangan. Kalau untuk solusi macam-macam, justru solusi dari kita adalah mengisi gap informasi ini untuk semuanya.

Belakangan ini ada satu narasi yang sering sekali diperbincangkan, muncul dari salah satu pakar epidemiologi UI yang bilang bahwa Indonesia sudah lama berada dalam ‘herd stupidity'. Pendapat Anda soal ini?

Saya sangat setuju, karena melihat tiga komponen yang tadi sudah saya sebutkan, terutama di modal sosial dan pemerintah, sering kontradiktif sama pengendalian wabah itu. Jadi tujuan kita itu apa? Wabah ini dikendalikan biar semuanya itu sejalan kan, ekonomi pulih dan pendidikan jalan lagi. Tapi selalu kontradiktif. Ini sebab akibat dari banyak hal ya, saya tidak bisa bilang ini salah pihak tertentu, tapi ini salah kita semua.

Herd Stupidity itu kan kebodohan komunitas. Saya setuju sebenarnya. Jadi kita tidak pernah belajar. Kita Januari sudah menghadapi [lonjakan] itu tapi kita tidak belajar dari itu. Jadi kita harus akui walaupun sebagian kecil atau sebagian dari masyarakat sangat mematuhi protokol kesehatan, sangat menyadari bahwa ini wabah, tapi kan sebagian lagi tidak. Kita yang tidak melanggar [prokes] itu tetap bertanggung jawab karena kita adalah komunitas. Dan COVID-19 ini adalah problem komunitas. Jadi saya setuju dengan [herd stupidity].

Apa pesan Anda kepada masyarakat terutama untuk meyakinkan mereka yang belum percaya bahwa wabah ini nyata?

Tingkatkan empati! Kalaupun Anda benar-benar yakin [wabah] ini tidak ada, atau yakin [wabah] ini kiriman alien atau apapun, berempatilah. Ada orang-orang yang terkena dampaknya yang benar-benar serius.

Dan empatinya itu bukan hanya ke orang-orang yang misalnya kehilangan pekerjaan, terus kita protes ‘harusnya ekonomi dulu', atau ‘prokes itu menghalangi', jangan seperti itu. Tapi empati ke komunitas. Bagaimana supaya kita balik normal lagi. Ya kita harus bersama-sama, ikut arahan pemerintah, bersama-sama menyadari bahwa ini wabah dan minimal diri sendiri dan keluarga patuh protokol kesehatan, dan tidak usah kemana-manalah kalau tidak penting.

Wawancara untuk DW Indonesia dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba dan telah diedit sesuai konteks.