1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Jurnalis Istimewa, Ging Ginanjar Tutup Usia

21 Januari 2019

Tidak banyak wartawan yang mendapat tempat di laman obituari ketika tutup usia. Jikapun ada, ia acap kali menjadi sebuah tugu peringatan tentang profesi yang sering diliput tragedi dan pengorbanan.

https://p.dw.com/p/3Btzq
Ging Ginanjar
Foto: DW

20 Januari, 2019, lanskap media kembali kehilangan sosok yang ikut membesarkan dunia jurnalistik di tanah air, Ging Ginanjar, salah seorang pendiri Aliansi Jurnalis Independen dan tokoh pers yang ikut menyertai kelahiran orde reformasi.

Obituari Ging Ginanjar jadi terasa penting buat wartawan muda yang sedang mencari pojok buat dihuni di tengah rimba media. Kisah hidupnya patut dijadikan contoh. Kesetiaannya pada jurnalisme layak diteladani. Berulangkali dia mendapat kesempatan buat menaiki tangga kekuasaan, namun dia memilih berkarya dengan pena hingga akhir hayatnya.

Di era Orde Baru, Ging dikenal sebagai jurnalis-cum-aktivis yang berani mengritik kebobrokan pemerintahan Soeharto. Karya-karya jurnalis tangguh berusia 54 tahun ini turut menggugat pelanggaran hak asasi manusia di Aceh, Papua dan Timor Leste. Ketika Detik, Tempo dan Editor dibredel penguasa, Ging bergerilya dengan ikut mengelola Independen- yang kemudian bernama Suara Independen, sebuah media bawah tanah yang kritis terhadap Orde Baru.

Bersama rekan-rekannya, pria asal Cimahi kelahiran tahun 1964 itu turut membidani kelahiran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) pada tahun 1994, sebagai wadah kebebasan di bawah rezim Suharto yang hanya mengakui Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sebagai satu-satunya organisasi profesi wartawan di Indonesia.

Ia juga turut memrakarsai Kongres Rakyat Indonesia (KRI) bulan Maret 1998, dengan agenda memilih secara simbolik presiden versi rakyat, menanggapi Sidang Umum MPR RI yang ketika itu siap memilih Suharto menjadi presiden lagi dengan suara bulat.  Kegiatan ini menyeretnya ke penjara. Ia diadili dan diputus bersalah pada tanggal  20 Mei 1998, namun dibebaskan hari itu juga. Sehari setelahnya, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.

Di masa reformasi ia bekerja untuk Kantor Berita Radio 68H, kantor berita radio independen pertama di tanah air. Di KBR, bersama dengan sahabat karibnya Tosca Santoso dan Heru Hendratmoko serta sahabat-sahabat lainnya, Ging terus mengabdikan diri bagi dunia media. Memperjuangkan jurnalisme damai.

Bonn Deutsche Welle- ehemalige Indonesische Redaktion
Ging Ginanjar, paling kanan (berkaus merah), bersama redaksi DW Indonesia tahun 2008.Foto: DW/K. S. Thiele-Katiaman

Ketika Indonesia menapaki era reformasi dan menikmati kebebasan pers, siaran luar negeri berbahasa Indonesia yang di masa otoriter Soeharto jadi sumber berita kalangan aktivis, juga perlu berbenah. Deutsche Welle pun memutuskan "reformasi" siaran bahasa Indonesianya, dan cukup beruntung ketika Ging Ginanjar bersedia bergabung sebagai editor menjelang musim dingin tahun 2005. ‘Lihat itu, hebat ya Jerman, akar pepohonan menjulang tinggi di atas tanah,‘ guraunya sambil menunjuk pepohonan di musim dingin yang rontok daun-daunnya di musim dingin. Guyonannya selalu membuat gelak tawa. Namun jangan tanya keseriusannya dalam ‘menggodok' berita.

Di redaksi DW Indonesia, ia segera membawa perubahan. Konten pemberitaan tentang Indonesia menjadi lebih dalam, penyajian berita jadi lebih segar. Rubrik dialog Indonesia Plus Minus yang ia kelola, menjadi rubrik yang dinanti pendengar radio DW. Berbagai tulisannya yang lugas dan kritis, masih terarsip rapi di DW Indonesia.

Dia rela menghabiskan banyak waktu dalam membimbing para tunas muda dalam dunia jurnalistik, salah satu bagian tugasnya di DW Indonesia. Tidak terhitung banyaknya jurnalis muda memetik ilmu dan memanut daya kritisnya.  Seorang jurnalis magang dari sebuah perguruan tinggi di Malaysia, Kartika Sari Thiele-Katiman menyebutkan ia merasa beruntung mendapat mentor seperti Ging, yang terus menyemangatinya dalam berkarya. "Padahal terkadang aku frustrasi sendiri melihat berita yang kubuat, sampai ingin jedutkan kepala ke dinding, tapi Ging tetap dengan riang gembira membimbingku.”

Bonn Deutsche Welle- ehemalige Indonesische Redaktion
Ging Ginanjar, paling kiri (berkaus merah), bersama redaksi DW Indonesia tahun 2008.Foto: DW/K. S. Thiele-Katiaman

Sebagai mentor, ia memperlakukan para jurnalis muda sebagai kawan bicara yang setara. Kalimat awal Ging yang sangat diingat para jurnalis yang magang di DW ketika beritanya diedit adalah: "Kalau saran saya, yang bodoh ini sih sebaiknya….'  katanya dengan gaya merendah yang jenaka. Tak pandang bulu, semua orang baginya setara, itu yang membuatnya punya begitu banyak sahabat di belahan bumi.

Suatu ketika, salah seorang sahabatnya yang merupakan mantan direktur KBR Heru Hendratmoko, pada tahun 2012 beranjangsana ke DW, Bonn dimana Ging berkantor. DW Ketika itu merintis kerjasama dengan KBR untuk melakukan siaran radio di gelombang FM. Ging yang begitu bersemangat dan gembira menemani Heru, hampir lupa menjemput putranya di tempat penitipan anak. Ia bilang pada Heru, "Tunggu sebentar, saya jemput anak dulu, tolong pegang kantung kresek ini, sampai saya kembali lagi," Heru, yang sudah dandan ganteng lengkap dengan batik merah terpaksa 'menenteng-nenteng' kantung kresek transparan itu di sepanjangan kunjungan kerja  beserta rapat-rapatnya dengan para petinggi DW. Isi 'harta karun' kantung kresek transparan itu di antaranya: tahu, cabai, tauge,mie instan dan tentu saja ada kerupuk. 

DW Indonesien Redaktion, 2008
Foto: H. Pasuhuk

Sepanjang  bermukim di Eropa, Ging yang mengajarkan dengan sangat baik bahasa Indonesia pada putranya itu, tetap tergila-gila masakan tanah air, terutama 'bala-bala‘ atau bakwan. Ia juga sering membawa bekal masakannya sendiri ke kantor, misalnya berbagai pepes, tahu dan bebek goreng. Sambal kemiri hasil ulekannya, lezatnya luar biasa. Pada suatu hari di musim panas, ia mengajak kami makan siang bersama dari bekal makanan itu di belakang kantor DW, di tepi Sungai Rhein. Kami bercanda ria seperti biasa, "Kita makannya jangan sampai ketahuan bebek-bebek yang sedang berenang itu, nanti mereka syok lihat bebek goreng ini," guyonnya.

Tahun 2011, Ging  pindah ke Brüssel, Belgia. Ia tetap meluangkan waktu bagi jurnalis-jurnalis DW yang ingin berkonsultasi soal pemberitaan. Kritik-kritiknya membangun, namun ia juga selalu membuka diri atas kritik. Tak lama di Brüssel, Ging bergabung dengan BBC Indonesia dan pindah ke Jakarta.  Di saat beberapa rekan seusianya sudah masuk ke lingkaran kekuasaan, ia tak sedikit pun tergiur. Ia tetap mengabdikan diri sebagai wartawan yang turun ke lapangan, menulis dan tetap mendidik anak-anak baru yang terjun ke dunia jurnalistik.

Kehangatan dan gurauan-gurauan maupun tingkahnya yang kocak selalu dikenang para sahabatnya. Meski  ada beberapa lawakan yang diulang, namun tetap membuat orang-orang di sekitarnya ‘ngakak‘ dan berbahagia, begitu bermakna.  Ging Ginanjar bermakna bagi banyak orang, dengan cara dan keintimannya sendiri, yang membuat dia selalu ‘dikangeni‘ dimana pun. Dan tentu saja tak terlupakan, alunan lagu-lagu dangdutnya jika kebosanan mulai melanda ruang kantor DW di Bonn, Jerman.

Kini, sosok istimewa itu meninggalkan kita, ketika lanskap media di tanah air bergolak antara kepentingan pemilik modal dan serbuan kabar palsu yang kian marak. Dia meninggalkan dunia jurnalistik yang sedang diterpa krisis kepercayaan, yang menuntut integritas dan independensi, keberanian dan komitmen tak berbatas pada kemanusiaan. Ging Ginanjar telah pergi, semangatnya semoga tetap bersama kita.

Indonesien Heute 081108:13H Katastrophenmanagement in Indonesien