1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dampak "Golput" dalam Kemunduran Peradaban

Ananda Sukarlan
15 Oktober 2018

Pemilihan pemimpin apapun, di manapun, bukan untuk memilih yang terbaik tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Jadi, jangan golput. Sepakat? Ikuti opini Ananda Sukarlan.

https://p.dw.com/p/36MGz
Symbolbild Wahlen Russland
Foto: picture-alliance/dpa

Sewaktu kecil saya pernah bercita-cita menjadi Wakil Presiden. Saya kira pekerjaannya cuma saat bangun tidur mengecek "Presiden hari ini OK?". Kalau OK, saya bisa main piano seharian, kalau tidak, baru deh saya terpaksa kerja.

Memang tugas Wapres ternyata lebih dari itu, tapi itu tetap menunjukkan bahwa profesi seorang Wapres adalah "selalu siap", bukan "memimpin negara".

Sejak Jokowi menunjuk Ma'ruf Amin menjadi pendampingnya untuk Pilpres 2019, banyak yang menyatakan untuk menjadi "golput" (golongan putih / tidak memilih),  dengan adanya rapor merah urusan Hak Asasi Manusia baik dari kedua belah kubu. Apakah keputusan ini bijaksana? Saya bukan peramal, maka saya ingin menganalisa akibat golput di beberapa kejadian beberapa tahun terakhir ini saja.

Penulis: Ananda Sukarlan
Penulis: Ananda Sukarlan Foto: privat

Belajar dari pengalaman Inggris

Aksi Brexit akhirnya membuat Inggris keluar dari Uni Eropa pada 2016. Dari sekitar 46 juta pemilih terdaftar, hanya 33,6 juta yang memilih, dengan selisih suara menang 1,2 juta. Jumlah pemilih terdaftar golput mencapai 28% atau tidak kurang dari 13 juta orang. Sebuah survey setelah referendum menyatakan bahwa 53,1% dari 28% itu cenderung memilih "remain" (tetap), dan mereka yakin bahwa tanpa suara mereka pun, "remain" tetap akan menjadi mayoritas karena secara logika menguntungkan negara, sedangkan yang benar-benar golput alias "tidak tahu memilih apa" hanya 32% dari 28% itu.

Masalah cuaca di London saat referendum juga berpengaruh besar, di mana saat itu sedang badai sehingga membuat orang (yang memang sudah kebanyakan apatis) malas keluar rumah.

Beberapa hasil riset terkait referendum itu menunjukkan bahwa pemilih terbanyak adalah berpendidikan tidak tinggi, kebanyakan berasal dari kalangan buruh. 

Kerugian jangka pendek akibat Brexit memang masalah finansial, tapi jangka panjang akan menyangkut masalah sosial, kemajuan teknologi dan budaya karena Inggris akan terisolasi dari Eropa.

Media seperti BBC, Financial Times dan The Independent juga menerbitkan beberapa artikel tentang penyesalan pemilih abstain yang kini dikenal dengan istilah "Bregret”, tapi nasi sudah menjadi bubur.

Belajar dari pengalaman di negeri Paman Sam

Di Amerika Serikat, sejak Trump menjadi Presiden telah banyak terjadi konflik dan kemunduran, baik di dalam negeri maupun hubungan dengan negara lain. Menurut wawancara The Guardian 18 November 2016 berjudul "I Never Thought Trump would Win", para pemilih yang tidak mau menggunakan suaranya beralasan "Clinton tokh akan menang tanpa suara saya. Siapa yang mau presiden yang rasis, fasis, bermoral buruk seperti Trump".

Partai-partai kecil yang pada pemilu-pemilu sebelumnya tidak pernah memperoleh banyak suara kali ini mendapatkan perolehan signifikan. Green Party mendapat 1 persen total suara, atau tiga kali lipat dari pilpres sebelumnya. Libertarian memperoleh 3 persen suara. Kalau saja para swing voters tersebut tetap memilih Partai Demokrat di negara bagian Wisconsin, Michigan dan Pennsylvania  maka hasil akhir pemilihan presiden tentu akan berbeda. Hal tersebut membuat hilangnya 46 suara electoral college yang turut mempengaruhi menangnya partai Republikan, padahal Hillary Clinton memenangkan suara populer (jumlah suara kasar) dengan agregat lebih dari 1,3 juta suara.

Apatisme menimbulkan banyak hasil yang tidak rasional

Kesimpulan dari banyak pengamat politik menunjukkan, apatisme menimbulkan banyak hasil yang tidak rasional.  Sekarang rakyat Amerika Serikat dipertanyakan kebijaksanaan politiknya karena telah memilih seorang yang anti perbedaan, memiliki rapor merah dalam perlakuan terhadap perempuan serta imigran dan telah terbukti banyak berbohong.

Pemilihan pemimpin apapun, di manapun, bukan untuk memilih yang terbaik tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Tidak ada pemimpin yang sempurna baik kecerdasannya, ketulusannya maupun keserakahannya.

Yang harus dipilih adalah yang keburukannya paling sedikit di masa lalu, bukan yang penuh janji indah untuk masa depan.

Manusia cenderung untuk berbuat jahat jika ada kesempatan, jadi pilihlah pemimpin yang sudah membuktikan prestasi dan kebaikannya di masa lampau, karena seperti kata Abraham Lincoln, "Semua orang bisa tahan dengan kesengsaraan, tapi bila kau ingin mengetahui karakter seseorang, berilah dia kekuasaan."

Rakyat perlu pemimpin yang sudah teruji, dan ujian itu bisa dilihat dari apa yang dilakukan sang (calon) pemimpin saat ia dalam keadaan kritis maupun dalam keadaan berkuasa. Pilihlah pemimpin dengan cara membandingkan kebaikan dan keburukan masing-masing calon di masa lampau.

Terakhir, semoga tweet saya bulan Agustus lalu ini dapat membuat anda berpikir lagi :

@anandasukarlan

Selain sebagai komponis & pianis, A.Sukarlan juga aktif sebagai blogger di Andy Skyblogger's Log , dan membuat vlog di Youtube channelnya Ananda Sukarlan. Twitter & Instagramnya @anandasukarlan bukan hanya mengulas tentang musik, tapi masalah sosial, budaya dan politik pada umumnya. Ia membagi waktunya antara Spanyol (di rumahnya di perbukitan di Cantabria) dan Indonesia (di apartemennya di Jakarta).

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Tulis pendapat anda di kolom komentar di bawah ini.