1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Media dan Bencana Topan Filipina

Jennifer Fraczek19 November 2013

Pemberitaan media mempengaruhi penyaluran bantuan ke daerah bencana. Tapi media juga bisa membuat publik melupakan bencana-bencana yang ada di tempat lain.

https://p.dw.com/p/1AKHb
Foto: Odd Andersen/AFP/Getty Images

Ketika topan Haiyan menghantam Filipina, pemberitaan media dan penyaluran bantuan terkonsentrasi pada kota Tacloban di Pulau Leyte. Koordinator bantuan PBB Sebastian Rhodes Stampa sampai memperingatkan: "Ada bahaya, bantuan terlalu difokuskan ke Tacloban." Barang bantuan juga harus disalurkan ke tempat lain.

Mengapa bantuan bencana Filipina dipusatkan ke Tacloban? Jawabannya adalah: sebagian besar pemberitaan media berpusat di kota itu. Setelah media menurunkan laporan pertama tentang situasi di Tacloban, organisasi bantuan lalu memusatkan perhatian ke sana. Bahkan banyak wartawan yang berangkat bersama-sama dengan organisasi bantuan.

Selain itu, organisasi bantuan yang besar juga mempersiapkan jurubicara dan punya data-data lengkap. Itu sebabnya, media sering mengutip pernyataan dan data-data dari organisasi bantuan. Konsentrasi bantuan dan media di satu daerah, membuat daerah lain jadi terbengkalai.

"Ini bisa menyebabkan gambaran yang bias tentang satu kawasan", kata Hans-Joachim Heintze dari Institut Perdamaian dan Humaniter di Universitas Bochum. Pemberitaan media sangat mempengaruhi keputusan politik tentang penyaluran bahan bantuan dan kegiatan organisasi bantuan, katanya.

Steffen Richter dari organisasi bantuan Humedica menerangkan: "Organisasi bantuan pertama-tama memang berusaha mencapai pusat kota, karena di sana biasanya masih ada infrastruktur". Di Filipina, Tacloban memang otomatis menjadi pusat logistik penyaluran bantuan. Tapi daerah-daerah lain tidak boleh dilupakan, tandas Richter.

Bencana yang terlupakan

Pemberitaan media tidak hanya mempengaruhi bantuan di suatu kawasan bencana. Dalam persaingan global, banyak berita muncul dan kemudian dilupakan, jika ada berita spektakuler dari tempat lain. Akibatnya, ada konflik-konflik yang sama sekali dilupakan oleh publik dan media. Para korban di kawasan itu tidak mendapat banyak bantuan, misalnya konflik di Sahara Barat atau di Kongo Timur.

Menurut Steffen Richter, publik memang lebih mudah mengidentifikasi dirinya dengan bencana alam seperti topan, gempa bumi atau banjir besar. Di Jerman sendiri orang sering mengalami topan atau banjir, walau tidak sehebat di Filipina. Jadi dalam hal ini, bantuan cepat mengalir.

Ini berbeda dengan situasi perang. Publik secara umum menganggap, penderitaan akibat perang adalah ulah manusia dan pihak-pihak yang terlibat. Jadi mereka tidak terlalu bersimpati. Selain itu, dalam peperangan orang tidak tahu, harus membantu pihak yang mana. Banyak orang khawatir, bantuan mereka "jatuh ke tangan yang salah".

Saling membutuhkan

Media dan organisasi bantuan memang saling membutuhkan. Bagi sebuah organisasi bantuan, makin banyak laporan media tentang kegiatan mereka, makin banyak sumbangan yang masuk dari masyarakat. Orang cenderung mau menyumbang, kalau ada informasi dan gambar-gambar otentik dari kawasan bencana.

Selain itu, lewat pemberitaan media organisasi bantuan bisa menunjukan bahwa mereka benar-benar bekerja untuk membantu korban bencana. Karena publik ingin tahu, apa yang dilakukan dengan uang sumbangan mereka.

Steffen Richter dari Humedica menerangkan, dia punya banyak pengalaman positif dengan media. Para pekerja Humedica memang mendapat latihan khusus untuk menghadapi media. Humedica juga menyediakan data dan gambar dari daerah bencana.

Wartawan bisa ikut tim bantuan ke kawasan bencana, kalau masih ada tempat di mobil, kata Richter. Tapi banyak wartawan yang juga sadar sendiri, kapan mereka harus mematikan kamera dan turun tangan ikut membagikan bantuan.