1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Memanen Air Hujan, Menyiasati Kelangkaan Air

Nicole Ris
25 Agustus 2021

Memanen air hujan, menjadi alternatif di sebuah desa di Jawa Tengah untuk mengantisipasi kelangkaan air bersih. Lewat teknik elektrolisis, warga bisa memanfaatkan air hujan yang ditampung untuk kebutuhan sehari-hari.

https://p.dw.com/p/3zSP7
Warga  Bunder menampung air hujan
Memanfaatkan air hujan.Foto: Nicole Ris/A. B. Rodhial Falah/DW

Di Bunder, Klaten, Jawa Tengah, menjelang musim hujan biasanya warga biasanya sudah bersiap-siap mengumpulkan air hujan sebanyak mungkin. Prasetyo Widi, misalnya, salah seorang warga desa tersebut menyimpan air hujan di tangki besar. Dia bisa menyimpan hingga 100 ribu liter, yang bisa dimanfaatkan selama satu tahun. Dan kualitas airnya bagus. Airnya dipakai untuk mencuci, memasak, dan minum.

Banyak orang berpikir air hujan tidak baik untuk diminum, jadi biasanya ia menjelaskan pada orang-orang yang ragu meminumnya. Namun tak mudah mengubah cara pandang itu, katanya: "Kalau pengunjung datang atau teman dari kota, kita harus bilang, 'Maaf, ini air hujan'. Kita sering khawatir mereka tidak akan meminumnya. Begitu mereka tahu itu air hujan, mereka biasanya tidak meminumnya, atau mereka hanya akan mengambil sedikit."

Beberapa wilayah di belahan dunia mengalami kerusakan ekologi yang berpengaruh pada kualitas air. Di masa kini, kebanyakan orang memilih membeli air minum kemasan. Namun sebagian besar warga Desa Bunder lebih memilih mendisinfeksi air dengan sistem elektrolisis. Arus listrik dialirkan melewati air, yang menimbulkan reaksi kimia, yang bisa membunuh mikroba dan meningkatkan nilai PH.

Romo Kirjito yang mengajari mereka cara melakukannya. Dia mengubah Bunder menjadi 'komunitas air hujan'. Sekarang ada 80 komunitas serupa di tanah air. "Dulu jika hujan turun mereka mengeluh, takut basah dan sebagainya, sekarang merasa bersyukur ketika turun hujan .Jadi mereka mengalami perubahan pemikiran. Mereka menjadi lebih hemat uang belanja, mereka tidak harus membeli air minum, mereka tinggal menampung air hujan dan melakukan elektrolisis.”

Romo Kirjito membuat pelatihan untuk elektrolisis air.
Rohaniawan Romo Kirjito melakukan eksperimen terkait hal air hujan.Foto: Nicole Ris/A. B. Rodhial Falah/DW

Bagi Romo Kirjito, air adalah sumber kehidupan - esensi kehidupan. Dia menghabiskan waktu bereksperimen di laboratorium kecilnya, mencari metode sederhana untuk meningkatkan kualitas air hujan. Tujuannya memastikan setiap orang punya akses langsung ke air minum secara gratis.

Dalam beberapa tahun terakhir kontrol atas sumber air minum berpindah ke tangan perusahaan swasta – dengan dukungan dari pemerintah. 

Privatisasi membuat banyak masyarakat Indonesia kini harus membeli air minum. "Kemandirian air minum ini yang masih menjadi tantangan secara global. Siapa tahu nanti akan ada industri air minum yang jujur.”

Tapi ada alasan lain mengapa mereka memanen air hujan.

Ada beberapa sumber air tawar di dekat Bunder, yang dekat dengan Gunung Merapi. Penggalian pasir juga mempengaruhi kualitas air, karena dapat meningkatkan erosi yang merusak dasar sungai dan kualitas air.

Karena itulah para ahli menganjurkan praktik memanen air hujan ini. Agus Maryono, pakar hidrologi menyebutkan:

"Kita tahu bahwa potensi air hujan untuk air minum di Indonesia telah ditinggalkan. Sekitar 2.000 hingga 4.000 milimeter per tahun hujan turun. Secara tradisional banyak orang di Indonesia sudah menggunakan air hujan. Karena teknologi baru mereka meninggalkan teknologi air hujan. Kami akan kembalikan pemahaman masyarakat, untuk mengembangkan teknologi pemanenan air hujan."

Agus Maryono menambahkan, menyimpan air hujan adalah salah satu cara untuk melewati kemarau panjang.

Bisa dilakukan di perkotaan

Keuntungan dari pemanenan dan pengolahan air hujan juga bisa dilakukan orang-orang di kota. Kanti Janis mengumpulkan air hujan di atap rumahnya. Sebagai seorang pengacara, ia sering mengangkat masalah penduduk pedesaan dan lingkungan. Baginya meminum air hujan juga merupakan masalah etika. Banyak air dalam kemasan berasal dari mata air di pedesaan. "Orang-orang yang tinggal di desa ini seharusnya bisa mendapatkan air secara gratis. Tetapi karena sebagian besar mata air telah diprivatisasi, orang-orang harus membeli air – ada yang salah dengan itu, dan saya tidak mau jadi bagian dari itu."

Semakin banyak orang Indonesia yang sependapat dengannya. Pemerintah juga berubah pikiran dan mulai mensponsori proyek air hujan. Apa yang dilakukan di Bunder suatu hari nanti mungkin bisa menjadi praktik umum di seluruh negeri. Menggunakan sumber daya dengan bijak.

Romo Kirjito senang karena banyaknya kursus pelatihan dan diskusi telah mengubah banyak hal di desa. "Saya mengharapkan orang-orang mencintai air. Mengolah air minum, mempelajari dan melakukan inovasi pengolahannya adalah bagian mencintai air.  Jika mencintai sesuatu kita akan selalu berpikir positif, apakah itu air hujan atau itu air sumur seharusnya kita cintai.”

Menghargai air tentu akan sangat membantu memastikan bahwa generasi mendatang di Bunder dan desa-desa Indonesia lainnya akan memiliki akses ke pasokan air yang sehat. (ap/hp)