1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Menanti Keadilan bagi Beauty, Korban Perkosaan Ayah Tiri

14 Desember 2018

Di tengah upaya mendorong korban kekerasan seksual agar berani mengungkap kasus mereka, seorang anak yang alami pemerkosaan sudah tujuh bulan menanti proses hukumnya. Kepada DW, ia ceritakan kisah pahitnya.

https://p.dw.com/p/38fQ9
Deutschland Symbolbild Kindesmissbrauch
Foto: picture-alliance/dpa/M. Hiekel

Saya memanggilnya Beauty. Beauty diperkosa oleh ayah tirinya sejak umur 13 tahun hingga hampir 19 tahun, selama enam tahun. Ayah dan ibu kandung Beauty sudah bercerai sejak ia masih kecil. 

Saat mendengar kisahnya, saya menyadari bahwa Beauty tumbuh dalam dunia yang penuh intimidasi dari pelaku. Ancaman verbal menjadi makanan harian, bahkan Beauty tidak bisa mempunyai kunci pintu kamarnya sendiri.

Seluruh kegiatannya diawasi oleh pelaku yang bertindak bak seorang pria cemburu yang akan menginterogasi Beauty berjam-jam untuk hal yang ia curigai.

Penulis: Monique Rijkers
Penulis: Monique RijkersFoto: Monique Rijkers

Dunia Beauty adalah dunia yang sunyi dari keceriaan masa remaja karena pergaulan dengan anak seusianya dibatasi. Dunia yang penuh dengan ketakutan karena dalam beberapa peristiwa Beauty menerima pukulan (kekerasan fisik) dari ibu kandungnya. Dunia Beauty semakin suram karena ia besar tanpa pendidikan seks.

Selama hampir enam tahun Beauty diam karena pelaku mengancam akan meninggalkan ibu kandung Beauty alias istrinya sendiri jika Beauty mengadu.

Rasa cinta yang begitu besar terhadap ibu kandungnya, membuatnya menutupi semua perlakuan pelaku. Ketika Beauty kuliah, dalam pergaulan keseharian itulah ia mulai bertemu dengan teman-teman yang membuka mata Beauty sehingga untuk pertama kalinya ia berani bercerita kepada seorang temannya yang kemudian menyuruhnya untuk mengontak saya karena ingin meminta saran.

Mengapa Korban Kekerasan Seksual Anak Memilih Diam?

Awal tahun 2018, Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Abdul Haris Semendawai menyebut banyak korban kekerasan seksual terhadap anak memilih diam karena takut dan malu.

Selain takut, orang tua umumnya tidak mendukung anaknya untuk mengungkap peristiwa kelam tersebut. Korban kekerasan seksual anak makin tak berdaya ketika berhadapan dengan hukum. Keberpihakan penyidik terhadap korban dan sulitnya pembuktian kasus menambah jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak yang terus bertambah. 

Dalam hal ini, Beauty mengalami seluruh alasan tersebut. Setelah berhasil mengalahkan rasa takutnya, Beauty memutuskan mengadu kepada ibu kandungnya.

Alih-alih mempercayai dan berpihak pada anak kandungnya, ibu kandung Beauty justru menyalahkan anaknya sendiri, bukan pelaku sehingga Beauty memilih hengkang dari rumah ibunya.

Beauty lalu mengadu kepada ayah kandungnya dan memutuskan melaporkan kasus ini ke kepolisian setempat. Polisi yang menerima pengaduan dan membuat Berita Acara Pemeriksaan tidak memiliki perspektif sebagai korban sehingga kerap meminta korban mengulang-ulang kronologi.

Di satu pihak, penyidik ingin memastikan pengakuan korban tetapi korban yang diminta mengingat kekerasan seksual yang ingin dilupakan menambah beban untuk korban. 

Hukum yang Berpihak Pada Korban Kekerasan Seksual Anak

Alih-alih memburu pemeriksaan terhadap pelaku, penyidik justru mendesak korban kekerasan seksual anak untuk menyediakan sejumlah bukti kekerasan seksual itu, termasuk foto atau video dan menuntut saksi mata yang bisa membenarkan perbuatan mesum pelaku.

Dari perspektif korban kekerasan seksual, visum saja seharusnya sudah cukup kuat. Namun karena penyidik tidak mempercayai pengakuan korban, penyidik mengharuskan ada sesi dengan psikiatris klinik meski hasil visum sudah membuktikan pengakuan korban.

Di depan hukum, korban kekerasan seksual kembali menjadi korban untuk kedua kalinya. Dalam kasus Beauty, di mata penyidik Beauty yang berusia 19 tahun saat melaporkan pemerkosaan dan pencabulannya itu dianggap sudah dewasa. Penyidik tidak merujuk pada usia saat pemerkosaan terjadi pertama kali yakni pada umur 13 tahun.

Penyidik mengabaikan fakta bahwa pemikiran seorang anak dan orang dewasa sangat berbeda dalam menanggapi pemerkosaan. Penyidik lupa bahwa kekuatan mental setiap orang berbeda-beda. Sering kali untuk mengungkapkan tragedi seburuk pemerkosaan butuh waktu lama bagi orang dewasa, apalagi anak. Tak sedikit yang memilih mengubur kekerasan seksual yang dialami bersama jasad diri mereka sendiri.

Sebagai korban, Beauty sangat tabah menanti proses penyidikan yang berjalan lambat disertai tindakan mengulur-ngulur waktu. Berbagai alasan dibuat untuk menunda pemanggilan terhadap pelaku. Surat belum diantar, surat belum sampai ke terlapor, penyidik harus keluar kota, penyidik melayat dan lain sebagainya. Tidak ada keinginan untuk memproses kasus ini dengan segera, mudah dan tuntas.

Butuh waktu hampir 7 bulan bolak-balik ke penyidik. Semua cara yang sesuai hukum sudah ditempuh, termasuk mengadukan kasus ini ke Komisi Kepolisian Nasional karena lambatnya penyidikan. Hingga saat ini kasus pemerkosaan dan pencabulan anak ini belum berakhir. Pelaku masih bebas berkegiatan dan tidak ditahan sehingga pelaku masih bisa kabur entah ke mana. Indikasi tersebut sudah terjadi karena diketahui pelaku sudah tidak tinggal satu rumah dengan ibu kandung Beauty.

Hukuman Maksimal Bagi Pelaku Kekerasan Seksual Pada Anak

Seandainya setiap korban kekerasan seksual anak bisa mengadukan kasusnya, apakah hukuman pelaku akan menimbulkan efek jera?

Apakah hukuman dapat menurunkan kasus kekerasan seksual? Indonesia memiliki UU nomor 17/2016 tentang Perlindungan Anak yang memberikan ancaman hukuman mulai dari penjara 10-20 tahun, penjara seumur hidup, kebiri (masih menunggu petunjuk teknis) hingga hukuman mati. Bagi pelaku pemerkosaan anak yang dilakukan oleh orang tua, wali, punya hubungan keluarga, pendidik hukuman akan ditambah 1/3 dari hukuman jika pemerkosaan dilakukan oleh lebih dari satu orang.

Tetapi pelaku kekerasan seksual pada anak bisa juga dijatuhi hukuman berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) selama 9 tahun penjara bagi pemerkosa anak yang belum 15 tahun merujuk pada Pasal 287 KUHP. Sedangkan bagi pemerkosa anak kandung, anak tiri, anak dalam asuhan mengacu pada Pasal 294 KUHP hukuman penjara selama 7 tahun yang justru lebih rendah dari pemerkosa anak tanpa pertalian keluarga atau asuhan.

Menurut Gloria Truly, kriminolog dengan fokus penelitian pemenjaraan dan penghukuman (penologi) yang saat ini sedang mengambil doktor di Paris, Perancis pelaku kekerasan seksual terhadap anak telah melanggar KUHP dan Perlindungan Anak. Pelaku sebagai orang tua wajib melindungi anak (kandung maupun tiri).

Pemerkosaan terhadap anak merupakan aksi yang dilakukan dengan kesadaran, bukan paksaan. Pelaku justru secara sadar melukai fisik dan psikis anak secara sadar. Gloria Truly menegaskan, pembinaan yang diberikan tidak bisa disamakan dengan mereka yang mencuri pisang dengan alasan lapar atau bahkan dengan mereka yang membunuh orang dengan alasan melindungi diri.

Gloria Truly yang mengambil gelar master di Jepang ini menyarankan hukuman bukan hanya berupa pembatasan ruang bagi pelaku kekerasan seksual terhadap anak tetapi juga pembinaan mental. Sejauh ini ia menolak hukuman mati bagi pelaku kekerasan seksualterhadap anak.

Beauty hanya satu dari sekian banyak korban pencabulan anak. Angka kekerasan seksual terhadap anak perempuan tahun 2017 menurut catatan Komnas Perempuan mencapai 2.227 kasus. Jumlah kasus naik dari 2016 sebesar 1.799. Kasus incest (hubungan seks dengan orang tua atau saudara kandung) pada tahun 2017 mencapai 1200.

Bagi seorang korban kekerasan seksual anak, Beauty hanya ingin memenjarakan pelaku sebab tidak ada materi atau cara atau apapun juga yang dapat mengembalikan masa gadisnya yang sudah dirampas pelaku.

Beauty, korban kekerasan seksual terhadap anak membutuhkan hukum yang adil. Harapannya melalui keadilan yang ia peroleh, hidupnya yang hancur bisa ia bangun kembali. Jika keadilan tidak berpihak pada korban kekerasan seksual, maka "Beauty” yang lain, yang masih menutup diri akan semakin enggan melaporkan kasusnya dan para predator seksual semakin berani melakukan kekerasan seksual terhadap anak karena merasa aksinya kebal dari hukum.

Penulis @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.