1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengapa Waria Banyak Terjebak Prostitusi? 

9 Mei 2020

Perlakuan YouTuber Ferdian Paleka yang melecehkan transpuan mengundang kemarahan. Bukan hanya Ferdian yang merendahkan martabat waria sebagai manusia. Negara berperan penting untuk membangun kesadaran masyarakat.

https://p.dw.com/p/3bmLO
Kampung Bandan
Kampung Bandan, Jakarta, di sini beberapa pengamen waria bermukim.Foto: DW/M. Rijkers

Apa lagi pilihan Didi (bukan nama sebenarnya) selain pergi ke Jakarta dan nyebong? Nyebong adalah istilah untuk melacurkan diri yang digunakan komunitas transpuan pada umumnya. Kala itu Didi bahkan belum tamat SMP, dia lari dari kampungnya di Lampung untuk mengadu nasib di Jakarta.

Didi putus sekolah bukan karena dia bodoh, tapi dia tidak tahan dengan perisakan yang dialami di sekolah karena teman-temannya terus-terusan mempermalukan dia dengan kata-kata "bencong". Sementara itu rumah terasa seperti neraka. Orang tuanya setengah mati berharap Didi bersikap lebih maskulin. Ia dipukuli oleh ayahnya hampir setiap hari dengan harapan dia bisa lebih kuat dan macho. Ibunya tidak bisa berbuat apa-apa. Didi menyesali kelahirannya. Dia tidak pernah minta untuk dilahirkan sebagai bencong. Ia pernah merasa benci sekali dengan dirinya sendiri dan terlintas untuk bunuh diri. Tapi dia bertahan. Tapi semakin hari Didi sudah tidak tahan lagi. Pada suatu siang, ia tidak pergi ke sekolah. Tasnya ia isi pakaian seadanya. Ia memutuskan untuk pergi dari rumah.  

Tapi apa yang bisa dilakukan oleh seorang anak berusia 15 tahun yang bahkan tidak punya ijazah SMA? Pepatah bahwa ibu kota lebih kejam daripada ibu tiri memang benar adanya.  

Didi tidak tahu mau apa. Ingin bekerja di salon tapi dia tidak ada kemampuan. Bekerja sebagai pramuniaga butuh ijazah SMA. Ingin melanjutkan sekolah tidak ada uang. Tidak ada pekerjaan untuk "pria" yang memiliki ekspresi feminin di mana pun. Satu-satunya pekerjaan yang bisa menerima identitas  dan orientasi seksual  Didi hanya menjadi pelacur.  

Essais
Penulis: Nadya Karima Melati Foto: N. K. Melati

Trans Indonesia juga Warga Negara Indonesia 

Didi dilahirkan dari kedua orang tua warga negara Indonesia. Didi juga lahir dan besar di Indonesia. Oleh karena itu Didi harusnya secara otomatis menjadi warga negara Indonesia. Didi juga ingin menjadi warga negara yang baik. Ia ingin punya KTP (Kartu Tanda Penduduk) seperti lazimnya WNI. Didi juga ingin menaati aturan berkendara dengan memiliki SIM (Surat Izin Mengemudi). 

Didi melacur hari demi hari dan menabung supaya uangnya bisa digunakan untuk mengejar paket B dan C. Dia berharap jika sudah mendapat ijazah SMP dan SMA, dia bisa melamar pekerjaan yang lebih layak dan tidak melacur lagi. Semua transpuan yang memiliki jalan hidup serupa Didi punya harapan yang sama. Memiliki KTP dan SIM adalah kewajiban warga negara penuh dilema bagi kelompok transpuan. Bagaimana tidak, selama identitas transpuan belum diakui, maka yang terjadi dalam proses pembuatan kartu identifikasi adalah neraka yang berwujud birokrasi administrasi. 

Sehari-hari transpuan berpenampilan dan berpakaian seperti perempuan sedangkan jenis kelamin lahir ditandai dengan keberadaan penis. Petugas akan memaksa mereka untuk menuliskan 'laki-laki' dalam kolom jenis kelamin walaupun mereka tidak pernah merasa sebagai seorang lelaki. Mereka juga bisa dipidana karena dianggap memalsukan dokumen jika berbohong tentang jenis kelaminnya. Kadang mereka menyiasatinya dengan meletakan foto dengan penampilan feminin tetapi nama yang sesuai dengan akta kelahiran. Tidak bisa dihitung berapa kali mereka jadi bulan-bulanan deadnaming saat menggunakan nama asli kelahirannya dalam proses administrasi. 

Pengakuan negara terhadap kelompok transpuan dilandasi oleh stigma. Transpuan selalu dimasukkan dalam kategori "penyimpangan sosial" karena banyak transpuan terjebak prostitusi dan terkena penyakit menular seksual. Padahal menjadi pelacur bagi banyak mereka bukanlah cita-cita tetapi karena memang tidak ada lagi pilihan pekerjaan lain yang mampu memperbaiki kualitas hidupnya dan membuat dirinya menerima identitas yang minoritas.  

Menyelamatkan Anak-anak Kita 

Ketika Vera pertama kali menyatakan orientasi seksualnya kepada orang tua. Ibunya menangis dan ayahnya frustrasi. Sebagai orang tua, bukan mereka tidak mau menerima anaknya tetapi mereka membayangkan betapa sulitnya menjadi minoritas dalam kondisi masyarakat yang penuh penghakiman. Vera sangat beruntung tidak seperti Rara yang harus kabur dari rumah dan butuh lima tahun untuk kembali ke rumah dan diakui sebagai bagian dari keluarga. Rara, akhirnya diterima kembali di rumah karena berperan sebagai tulang punggung untuk biaya sekolah dan hidup ibu dan adik-adiknya. 

Keluarganya tidak tahu dan tidak perlu tahu dari mana Rara mendapat uang yang dikirimkan secara teratur ke keluarga. Ketika tulisan ini dibuat, Rara berusia 27 tahun dan masih dalam kategori 'muda'. Rara sudah memikirkan bahwa sebagai pekerja seks trans, usia sangat memengaruhi kariernya. Dia tidak bisa bergantung pada pekerjaan ini karena ia akan semakin menua. Di sisi lain keluarga hanya menerima dia karena ia rutin mengirim uang. Akan bagaimana nasibnya jika ia berhenti mengirimkan uang? Apakah ada dari keluarga yang mau merawatnya jika dia renta nanti? Setiap hari Rara bangun pagi disandera perasaan khawatir ini. Kekhawatiran untuk hari ini, dan nanti. 

Transpuan sangat butuh dukungan secara finansial untuk bisa diakui menjadi bagian dari keluarga sementara pekerjaan formal sebagai transpuan amatlah terbatas, jika tidak bisa dikatakan langka. Pengakuan identitas transpuan ada pada industri kabaret namun itu hanya sekedar drag-queen atau sebagai penampilan performa hiburan saja. Bagaimana untuk transpuan berekspresi setiap harinya seperti Rara? ini adalah masalah yang harusnya diselesaikan oleh negara.  

Jika negara ingin mengeluarkan waria dari kategori penyakit sosial, maka pertama-tama negara harus mengakui dulu transpuan sebagai kategori perempuan sosial. Dengan itu, masyarakat akan perlahan-lahan berubah dan transpuan menjadi bagian di masyarakat tanpa harus ada stigma. Bayangkan jika trans bisa hidup selayaknya cis-gender. Akan banyak potensi dari warga negara yang bisa ditemukan. Sudah ratusan atau bahkan jutaan anak trans lari dari rumah karena tidak adanya penerimaan dari negara dan lingkungan dan membuat dirinya terjebak dalam pelacuran dan kita harus menghentikannya.  

 

Tulisan ini dipersembahkan untuk kak Ines, almarhumah aktivis transpuan yang mengabdikan dirinya untuk mendampingi kelompok transpuan mendapatkan kartu identitas. 

 

@Nadyazura adalah essais dan pengamat masalah sosial. 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis. 

*Bagaimana  komentar Anda atas opini di atas? Silakan tulis dalam kolom komentar di bawah ini.