1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Momentum Mengenang Kembali "Kebaikan" Soeharto

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
8 Maret 2024

Terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden bisa menjadi momentum mengenang kembali peristiwa Supersemar. Apa yang bisa kita pelajari dari situ? Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/4d8ky
Presiden Sukarno dan Jendral Suharto
Mantan Presiden Sukarno dan mantan Presiden SuhartoFoto: picture-alliance/AP Images

Hampir sepanjang era reformasi, nyaris tidak pernah ada lagi peringatan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret), dengan sendirinya ingatan publik terhadap peristiwa tersebut menjadi samar-samar, bahkan sebagian besar Gen Z bisa jadi tidak paham bagaimana persisnya peristiwa tersebut.

Sebenarnya ada dua peristiwa di bulan Maret, yang sangat identik dengan Soeharto, satu peristiwa lagi adalah  Serangan Umum 1 Maret (SO 1 Maret 1949), yang juga tidak pernah diperingati lagi selepas lengsernya Soeharto pada Mei 1998. Hanya "nasib”  tanggal 1 Maret masih lebih baik, mengingat tanggal ini kemudian diadopsi sebagai hari jadi Kodam IV/Diponegoro. Artinya masih ada komunitas yang memperingatinya, meskipun dalam lingkup terbatas. 

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Kesempatan memperingati Supersemar secara rutin, kiranya kembali terbuka, setelah pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming resmi berkuasa nanti. Bukan hanya memperingati Supersemar, rezim Prabowo-Gibran adalah pintu masuk mengenang segala kebaikan Soeharto yang lain, termasuk melanjutkan proses wacana lama yang selalu tertunda, yaitu menjadikan figur Soeharto sebagai pahlawan nasional, 

Segala asumsi itu dalam posisi yang wajar, karena walau bagaimanapun juga, Prabowo memiliki  memori tersendiri terhadap Soeharto, baik selaku kerabat maupun kepentingan kariernya di militer. Karier militer Prabowo Subianto luar biasa moncer di penggal terakhir kekuasaan Soeharto. Sebut saja penempatan Prabowo sebagai Danjen Kopassus (1995-1998) dan Pangkostrad (1998), dua satuan militer yang tiada duanya di tanah air, dan dalam  usia relatif muda, belum genap 50 tahun. Segala kemudahan ini tentu tidak terlepas dari adanya hubungan kekerabatan antara Soeharto dan Prabowo. Secara tradisional, posisi Pangkostrad adalah jabatan persiapan menuju KSAD, mungkin dulu Prabowo memang disiapkan untuk menjadi KSAD.

Bunga Teratai

Selalu ada paralelisme dalam sejarah. Mungkinkah ini kebetulan belaka, ketika peta jalan Soeharto dan Prabowo menuju kekuasaan, harus melalui jalan yang tidak sepenuhnya terang benderang. Bila pada akhirnya, baik Soeharto maupun Prabowo, benar-benar menapaki puncak kekuasaan, mungkin itu sudah menjadi kehendak sejarah, yang dalam bahasa Belanda, biasa dikenal sebagai eenmalig, bahwa sebuah peristiwa atau kesempatan hanya terjadi sekali saja.

Perjalanan Soeharto maupun Prabowo menuju kekuasaan, bisa diibaratkan sebagai bunga teratai, bunga yang biasa mekar dan tumbuh di tengah air yang keruh. Metafora bunga teratai sepertinya paling pas untuk menggambarkan bagaimana cara keduanya meraih kekuasaan. Benar, Soeharto dan Prabowo dicitrakan berpendar dalam kekuasaan, meskipun proses pencapaiannya melalui jalan yang  keruh, kalau tidak boleh disebut (sedikit) kasar.

Kita lihat saja Soeharto,  ketika mengirim tiga orang jenderal, yakni M Yusuf, Basuki Rahmat, dan Amir Mahmud,  untuk menekan Bung Karno, agar segera mengeluarkan surat keputusan peralihan kekuasaan, yang di kemudian hari dikenal sebagai Supersemar, merujuk pada tanggal dikeluarkannya surat yang ditunggu-tunggu Soeharto tersebut, yakni 11 Maret (1966), di Istana Bogor. Setelah lebih dari setengah abad, kita baru paham, ini semua adalah akal-akalan Soeharto, yang sengaja mengutus tiga perwira tinggi, yang sebelumnya dikenal sangat setia pada Bung Karno. Jadi sebetulnya Bung Karno terkecoh dengan kehadiran tiga perwira tinggi tersebut, yang kini sudah "balik badan” dan sudah terafiliasi pada Soeharto, tanpa pernah disadari Bung Karno.

Demikian juga dengan proses kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pilpres 2024, yang jejak gelapnya masih terasa sampai hari ini, saat tulisan ini disiapkan. Jalan "keruh” Prabowo-Gibran sudah dimulai sejak proses pencalonan Gibran sebagai cawapres, hingga dukungan penuh Presiden Joko Widodo, agar pasangan ini bisa menang. Harapan Presiden Jokowi, yang kebetulan adalah ayah Gibran, kini sudah tercapai. Dengan segala karut-marut dan kekacauan yang ada, kini pasangan Prabowo-Gibran tinggal menunggu hari pelantikannya. 

Mungkin hanya kebetulan belaka, bila kejayaan Soeharto dan Prabowo-Gibran bersumber dari lokasi yang sama, yakni Istana Bogor. Sudah umum diketahui, di Istana Bogor, termasuk Kebun Raya Bogor, bertebaran bunga teratai, dan tentu saja semuanya tumbuh di air keruh, meskipun tumbuh dalam area Istana Bogor, karena air keruh itulah habitat bunga teratai. Apakah mungkin Presiden Jokowi memang terinspirasi bunga teratai yang bertebaran di Istana Bogor, yang menjadi abstraksi dalam menyusun skenario kekuasaan bagi Gibran, mengingat sehari-hari Jokowi memang tinggal di komplek Istana Bogor?

Bisa jadi ini hanya soal persepsi, yang sama-sama berbasis pada metafora bunga teratai. Di satu pihak ada yang menganggap Gibran menyusuri jalan yang keruh agar sampai di Istana Merdeka, sementara dalam pandangan Jokowi, apa yang terjadi selama ini (terkait Gibran), meminjam istilah kekinian, hanya sekadar "bocor alus”.

Berdasar narasi terakhir ini, pada gilirannya akan muncul pertanyaan: apakah rezim Prabowo-Gibran nanti akan menjadi jembatan (gerbong) kembalinya sistem Orde Baru? Pertanyaan sekaligus kekhawatiran ini masih harus dibuktikan pascapelantikan nanti, setidaknya pada 100 hari pertama pasangan ini memerintah. Seandainya kekhawatiran (kembalinya Orde Baru) benar-benar terjadi, kita sebagai sebagai rakyat jelata hanya bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.

Langkah paling mungkin yang bisa dilakukan rakyat jelata dalam menyambut pemerintahan baru kelak, adalah dengan membiasakan diri memandangi foto resmi (setengah badan) Prabowo dan Gibran, yang akan terpampang di dinding kantor instansi pemerintah. Pada titik ini kita bisa mengingat kembali  nilai kejawen yang biasa disampaikan Soeharto saat masih berkuasa dulu: ojo kagetan, ojo gumunan (jangan mudah terkejut dan terkagum-kagum).

Beasiswa Supersemar

Paralelisme sejarah berikutnya adalah beasiswa Supersemar dan program makan siang gratis.  Kedua program tersebut memiliki kemiripan, yaitu sama-sama menyelamatkan anak bangsa dari keterpurukan, dalam hal pendidikan tinggi dan kecukupan nutrisi. Apa yang terjadi sekarang adalah kemunduran, ketika banyak orang tua atau mahasiswa tidak sanggup membayar biaya kuliah, sementara empat dasawarsa yang lalu Pak Harto sudah meluncurkan beasiswa Supersemar, yang sangat membantu mahasiswa dari keluarga tidak mampu untuk terus melanjutkan kuliah, sampai lulus, setidaknya S-1.

Sebuah harian nasional baru-baru ini sempat menyiarkan laporan khusus, bagaimana mahasiswa-mahasiswa sampai terpaksa berutang pada pinjaman daring (pinjol) untuk membayar kuliah, yang ujung-ujungnya diteror perusaahaan jasa peminjaman, karena mahasiswa tidak sanggup mengangsur, mengingat pinjaman online alias pinjol berbunga tinggi. Ini sebuah kenyataan pahit, di tengah berlangsungnya periode bonus demografi, sebuah periode yang diharapkan akan muncul  generasi muda yang kompeten dan produktif. Tanpa pendidikan yang memadai dan asupan nutrisi yang cukup, bonus demografi akan berlalu begitu saja.

Program makan siang gratis sebenarnya adalah kelanjutan dari pembawaan Prabowo sejak masih aktif di pasukan dulu, yang dikenal royal kepada anak buah. Menjadi sebuah epik tersendiri, ketika Prabowo diangkat sebagai Komandan Yonif 328 Kostrad di akhir tahun 1980-an, dia rela mengeluarkan dana pribadi untuk keperluan pasukan, agar performa satuan ini tidak kalah dengan Kopassus dalam operasi tempur. 

Secara singkat bisa dikatakan, Prabowo memiliki kecenderungan filantropi sejak lama. Pembawaaan  kedermawanan Prabowo, kemudian bertemu dengan aspirasi Gibran (selaku pecinta sepak bola), yang terinspirasi oleh Marcus Rashford (bintang klub Manchester United), yang pernah mendonasikan sebagian penghasilannya untuk program makan siang gratis di Inggris, ketika pandemi beberapa tahun lalu.

Untuk menghidari kekacauan pengelolaan, mengingat program ini melibatkan dana jumbo, untuk masa-masa awal, setidaknya pada setahun pertama, ada baiknya dipercayakan kepada satuan logistik TNI AD, yakni personel kecabangan perbekalan dan angkutan (CBA), yang  memiliki kompetensi  suplai ransum  pasukan skala besar. Anggap saja ini sebagai simulasi, sebelum diberikan secara penuh kepada pemda masing-masing, beserta jasa katering yang ditunjuk. Bila tanpa simulasi, dan langsung diberikan kepada pemda setempat, dikhawatirkan akan terjadi  kekacauan pengelolaan dana, dan munculnya usaha katering dadakan, relasi dari walikota atau bupati.

Prabowo sebagai mantan komandan pasukan, tentu paham dengan kompetensi satuan logistik TNI. Idealnya Prabowo sendiri yang  menjadi penyelia program makan siang gratis ini, selain karena menyangkut  dana (besar), juga bagian dari penyiapan generasi berkualitas menjelang Tahun Emas 2045. Kelak Prabowo akan dikenang sebagai presiden yang sangat memperhatikan pendidikan dan nutrisi generasi baru, selaras dengan bonus demografi yang tengah berlangsung.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.