1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Protes Myanmar Berlanjut di Tengah Eskalasi Kekerasan Aparat

22 Februari 2021

Ribuan demonstran antikudeta militer di Myanmar kembali turun ke jalan di tengah meningkatnya kekerasan oleh aparat keamanan. Militer tak mampu memadamkan protes antikudeta dan kampanye pembangkangan sipil.

https://p.dw.com/p/3pg8C
Pengunjuk rasa di Mandalay yang menentang kudeta militer
Pengunjuk rasa di Mandalay yang menentang kudeta militerFoto: AP Photos/picture alliance

Protes antikudeta dan menyerukan pembebasan pemimpin sipil yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, terus berlangsung di Myanmar. Suu Kyi, peraih Nobel Perdamaian itu, ditahan oleh militer sejak kudeta 1 Februari silam.

Pada protes hari Sabtu (20/02), setidaknya dua orang tewas di Mandalaydan sedikitnya enam orang lainnya terluka saat pasukan keamanan melepaskan tembakan ke arah massa.

Pada Minggu (21/02), Facebook memblokir halaman yang dikelola militer karena dinilai menghasut kekerasan.

"Pagi ini, sejalan dengan kebijakan global kami, kami menghapus Halaman Tim Informasi Berita Sejati Tatmadaw dari Facebook karena melakukan pelanggaran berulang terhadap Standar Komunitas kami yang melarang hasutan untuk melakukan kekerasan dan mengkoordinasikan tindakan merugikan," tulis seorang pejabat Facebook, merujuk pada angkatan bersenjata Myanmar (Tatmadaw).

Para pengunjuk rasa menyebut kekerasan oleh aparat keamanan di Mandalay sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sementara, pihak berwenang memperingatkan pengunjuk rasa untuk tidak melanjutkan demonstrasi yang lebih besar pada Senin (22/02), dengan mengatakan bahwa rencana protes besar itu akan menghasut anarki dan mendorong golongan muda untuk ikut turun ke jalan, ‘‘di mana mereka akan kehilangan nyawa.‘‘ 

Mya Thwate Thwate Khaing meninggal akibat ditembak polisi
Pengunjuk rasa di Mandalay berduka atas meninggalnya Mya Thwate Thwate Khaing, demonstran muda yang ditembak polisiFoto: AP/picture alliance

Namun, peringatan itu gagal menghalangi niat para pengunjuk rasa untuk terus menuntut pemulihan demokrasi. Semakin banyakanak muda yang berpartisipasi dalam protes pro-demokrasi di Myanmar.

"Kami kaum muda punya banyak impian, tetapi kudeta militer ini telah menimbulkan begitu banyak rintangan," kata salah satu pengunjuk rasa, Ko Pay, di Yangon. "Itu sebabnya kami berada di depan dalam protes ini."

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Antony Blinken mengatakan AS mendukung "rakyat Burma sebagaimana mereka menuntut pemulihan pemerintahan mereka yang terpilih secara demokratis."

Blinken juga mengatakan AS akan mengambil "tindakan tegas" atas kekerasan militer Myanmar terhadap pengunjuk rasa, dalam sebuah cuitan.

Jerman menuntut akhiri kekerasan dan mengedepankan dialog

Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Jerman mengulangi tuntutannya kepada militer Myanmar pada Minggu (21/02) "untuk mengakhiri kekerasan terhadap para demonstran dan sebagai gantinya membuka dialog." Kemenlu Jerman juga menyerukan pembebasan segera terhadap Suu Kyi dan Presiden Win Myint.

Kepala urusan luar negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell mengecam penggunaan kekuatan oleh militer dan meminta mereka untuk segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil.

Dewan Urusan Luar Negeri UE akan membahas kekerasan terbaru di Myanmar pada Senin (22/02) dan berusaha "mengambil keputusan yang tepat," kata Borrell.

Juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, mengatakan AS "sangat prihatin" dengan kekerasan itu. Sementara Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan kekuatan mematikan oleh aparat keamanan terhadap demonstran tidak dapat diterima.

Dalam sebuah pernyataan yang dirilis pada Minggu (21/02), Kemenlu Myanmar menegaskan kembali sikap junta bahwa pengambilalihan itu konstitusional. 

Kemenlu Myanmar mengecam beberapa kedutaan dan pemerintah asing, dengan menyebut pernyataan mereka "sama saja dengan ikut campur dalam urusan dalam negeri Myanmar."

Kementerian itu mengklaim bahwa, meskipun terjadi "demonstrasi yang melanggar hukum, penghasutan kerusuhan dan kekerasan, pihak berwenang melakukan pengekangan sepenuhnya melalui penggunaan kekuatan minimum untuk mengatasi gangguan.‘‘

Kemenlu Myanmar juga menambahkan bahwa petugas menjaga keamanan publik sejalan dengan hukum domestik dan praktik internasional.

pkp/rap  (AFP, Reuters, dpa)