1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Setelah Run dan Manhattan Ditukar

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
9 April 2022

Tukar guling aset tanah terbesar dalam sejarah terjadi pada 1667 ketika Belanda dan Inggris bersepakat untuk menukarkan Pulau Run di Kepulauan Maluku dan Pulau Manhattan di Amerika Utara. Ada apa di balik itu?

https://p.dw.com/p/49Kix
Pulau Run
Pulau Run dan Pulau Manhattan ditukar?Foto: Brian McDairmant/ardea/Mary Evans Picture Library/picture alliance

Tukar guling aset tanah terbesar dalam sejarah terjadi pada 1667 ketika Belanda dan Inggris bersepakat untuk menukarkan Pulau Run di Kepulauan Maluku dan Pulau Manhattan di Amerika Utara. Belanda mendapatkan Run dan komoditas palanya yang saat itu bernilai besar dalam perdagangan global dan perekonomian kolonial. Inggris mendapatkan Manhattan. Dari koloni yang awalnya berfokus memperdagangkan bulu hewan (fur) tersebut, Manhattan dan wilayah sekitarnya berkembang menjadi New York yang kini menjadi pusat perekonomian dunia. Sedangkan Run seakan terkikis dalam narasi sejarah modern.

Kisah Run-Manhattan adalah babakan sejarah yang menarik bagi publik Indonesia mengingat implikasinya sensasionalnya tersebut. Semua orang tahu Manhattan atau New York, namun jarang yang tahu Run atau Kepulauan Banda kecuali orang-orang Indonesia (yang juga mungkin akan kesulitan menunjukkan lokasi pastinya di peta saat diminta). Ada opini-opini bernada penyesalan pula. Indonesia dianggap mewariskan efek jangka panjang terburuk dari kesepakatan tersebut, sedangkan Amerika Serikat dianggap paling untung: misal, jika pertukaran tidak terjadi, mungkin saja Run yang akan menjadi semegah New York sekarang.

Terlepas dari impresi sinis tersebut, sejarah Run-Manhattan kerap diceritakan secara tidak lengkap dalam perdebatan publik di Indonesia dan layak dielaborasi lebih jauh. Misalnya, istilah "pertukaran Run-Manhattan” saja sudah keliru karena Run tidak hanya ditukar dengan Manhattan, tetapi keseluruhan koloni dagang Belanda di pesisir Amerika, Nieuw Nederland (New Netherland) yang sekarang wilayahnya adalah bagian dari beberapa negara bagian seperti Delaware, New Jersey, New York, dan lain-lain. Pusat dagang dan pemerintahannya terletak di Nieuw Amsterdam (New Amsterdam), di selatan Pulau Manhattan.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Menukar dan Merebut Kembali

Pada dasarnya, baik Inggris dan Belanda menjadi duri dalam daging bagi satu sama lain ketika mereka masing-masing menguasai Nieuw Nederland dan Run. Nieuw Nederland strategis karena terletak di perlintasan dagang antara koloni Inggris New England di Amerika dan perairan Karibia serta Surinam di pesisir utara Amerika Selatan. Tidak seperti New England yang berkembang akibat dihuni oleh pelarian-pelarian agama dan politik dari Inggris, Nieuw Nederland sudah sejak awal dibangun sebagai sentra dagang oleh Kongsi Dagang Hindia Barat (Geoctroyeerde Westindische Compagnie, GWC).

GWC tidak hanya mendatangkan pedagang-pedagang Belanda, namun juga orang-orang Jerman, Swedia, Finlandia, yang intens berdagang bulu hewan dengan orang-orang Indian di pedalaman. Estimasinya, 9000 orang menghuni Nieuw Nederland pada 1664, setengahnya diperkirakan bukan orang-orang Belanda dan mereka diberikan kebebasan beragama, hak-hak sipil, serta kesempatan komersial yang cukup progresif di masanya. Karenanya, perekonomian Nieuw Nederland meningkat cepat dan Inggris kian melihatnya sebagai ancaman bagi hegemoni dan agenda monopoli dan  ekspansi kolonialisme mereka di Amerika.

Inggris mengklaim Run sejak 1616 ketika wilayah Kepulauan Rempah-rempah lain sudah nyaris sepenuhnya dikuasai Belanda dan sistem monopolinya. Pada 1620, Belanda berhasil mengusir Inggris melalui serangkaian pertempuran dan mulai mengosongkan Run. Pohon-pohon palanya ditebang dan penduduknya dibunuh atau diperbudak, hanya ternak yang boleh berada di sana. Inggris beberapa kali mencoba kembali ke Run karena menganggap pulau tersebut adalah miliknya mengingat penduduknya telah terikat kontrak politik dengan tahta Inggris sejak 1616 tersebut, juga agar akses terhadap aset komoditi palanya tidak terputus.

Inggris memutuskan untuk merebut Nieuw Nederland pada 1664. Selama 1665-1667, Inggris dan Belanda berperang untuk memperebutkan kontrol terhadap lautan dan jalur dagang di Hindia Barat dan Hindia Timur. Keduanya lantas berdamai melalui Perjanjian Breda 1667. Dalam negosiasinya, Belanda sebagai pemenang perang meminta Inggris untuk membiarkan Run dan Surinam dicaplok Belanda. Gantinya, Nieuw Nederland akan tetap berada di tangan Inggris, menjadi New York. Kesimpulannya, Belanda akan menjadi kekuatan kolonial yang utama di Kepulauan Rempah-rempah, sedangkan Inggris menjadi yang serupa di Amerika.

Keputusan Belanda ini memang terlihat aneh jika dilihat menggunakan perspektif kekinian. Mengapa Belanda mau menyerahkan lahan di wilayah yang kemudian menjadi New York dan Amerika Serikat? Jawabannya, karena Belanda bertindak pragmatis. Run berharga karena komoditi palanya yang terbukti sebagai primadona perdagangan dunia saat itu. Pala tidak bisa ditanam di tempat lain, profitnya nyata dan jauh lebih besar daripada yang dihasilkan Nieuw Nederland. Potensi komersial Amerika mungkin menjanjikan, namun Belanda tampaknya tidak memiliki sumber daya mencukupi untuk mengeksplorasi dan mengelolanya.

Meskipun begitu, kesepakatan 1667 tersebut nyatanya lekas usang karena keduanya kembali berperang pada 1672-1674. Belanda merebut New York pada 1673 lalu mengubah kembali namanya menjadi Nieuw Orange (New Orange). Namun, peperangan kali ini terlalu menguras perekonomian Inggris dan Belanda tanpa hasil yang jelas bagi siapapun yang nantinya keluar sebagai pemenang. Perjanjian Westminter 1674 pun disepakati. Isinya, menegaskan bahwa New York adalah milik Inggris secara sah yang tidak bisa diklaim lagi oleh Belanda, begitu pula Surinam menjadi milik Belanda seutuhnya (Suriname).

Giles Milton dalam Nathaniel's Nutmeg menyebutkan bahwa di bawah Belanda, Kepulauan Banda mencapai kejayaan produksi palanya. VOC mendapatkan banyak uang dari monopolinya di sana selama abad ke-17. Terlihat bahwa Belanda adalah pihak paling untung dari kesepakatan pertukaran tahun 1667 dan 1674 tersebut, setidaknya sampai akhir abad ke-18 ketika permintaan pala di Eropa menurun dan korupsi di VOC semakin tidak terkendali. Sedangkan New York bertransformasi menjadi kota komersial dan jasa finansial yang makmur bagi Inggris dan Amerika Serikat setelah kemerdekaannya.

Nasib pulau-pulau lain di Kepulauan Banda tak lama akan sama terbengkalai seperti Run. Dalam konteks Perang Napoleon, Inggris menyerang Kepulauan Banda pada 1810. Berbeda dengan saat Belanda meninggalkan New York pada 1674 tanpa kerusakan berarti, Inggris meninggalkan Kepulauan Banda dengan kerusakan berat: tanah Banda yang unik dan bibit-bibit palanya diambil lalu dibawa ke Srilanka, Pinang, Grenada, Zanzibar, dan lain-lain. Inggris lalu memulai produksi palanya sendiri di tanah-tanah jajahannya. Kompetisi ini pun menghancurkan produksi pala di Kepulauan Banda dan monopoli Belanda.

Pelajaran Dari Run

Bagi Inggris dan Belanda, sejarah Run adalah jejak kompromi. Namun bagi orang-orang Run, begitu juga orang-orang Indonesia modern yang sama-sama menjadi pewaris dari nasib terjajahnya, Run adalah tragedi. Ketamakan penjajah-penjajah Eropa mengakibatkan keistimewaan Run terkikis dan nyaris tak terdengar di masa modern. Karenanya, opini bahwa nasib Run akan lebih baik apabila tidak ditukar dengan Nieuw Nederland adalah keliru dan cukup menghina. Justru, jika Run tidak diperebutkan atas nama kolonialisme, posisi Run dan keistimewaan palanya akan lebih terawat dalam catatan sejarah.

Saat ini pala masih ditanam di Banda, menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas dan gaya hidup masyarakat setempat. Usaha pemerintah untuk menghidupkan kembali kejayaan pala di Run dan Kepulauan Banda sejak merdeka sampai saat ini belum banyak membuahkan hasil, namun sejarah dan budaya pala Run adalah bagian dari kebanggaan bangsa yang perlu terus dilestarikan juga kegetiran yang jangan terulang. Sejarah dan warisan Run, terutama dari perspektif Indonesia yang kerap tidak terdengar ketika Inggris dan Belanda membicarakannya sekarang, tidak boleh terlupakan.

 

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis