1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Instruksi Razia LGBT Wali Kota Depok Munculkan Kekhawatiran

Prihardani Ganda Tuah Purba
14 Januari 2020

Kebijakan razia LGBT oleh Wali Kota Depok, Mohammad Idris menuai kritik tajam. Komnas HAM menilai kebijakan tersebut sebagai sebuah tindakan diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.

https://p.dw.com/p/3WBHc
Taiwan LGBT-Rechte
Foto: Reuters/Tyrone Siu

Instruksi Wali Kota Depok, Mohammad Idris untuk melakukan penertiban dan razia LGBT dan pembentukan crisis center khusus korban LGBT di Depok, mendapat kritik tajam dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Instruksi tersebut dinilai sebagai sebuah tindakan diskriminatif terhadap LGBT.

Atas instruksi tersebut, Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM, Beka Ulung Hapsara mengakui bahwa pihaknya telah melayangkan surat kepada Pemerintah Kota (Pemkot) yang isinya mencakup dua hal. Pertama, Pemkot Depok diminta untuk membatalkan kebijakan razia terhadap LGBT, dan yang kedua, Pemkot Depok diminta untuk memberikan perlindungan bagi kelompok minoritas orientasi seksual dan identitas gender (LGBT) dari tindakan diskriminasi dan kekerasan.

Meski surat sudah dilayangkan, Beka akui masih belum mendapatkan respon dari Pemerintah Kota Depok. "Sampai saat ini kami belum mendapatkan respon dari surat yang kami kirimkan," ujar Beka kepada DW Indonesia, Selasa (14/01).

Baca juga:Jerman Resmi Melarang 'Terapi Konversi' Gay 

Pemkot Depok diminta patuhi konstitusi

Tidak hanya dinilai diskriminatif, Beka juga menyebut bahwa instruksi dari Wali Kota Depok tersebut bertentangan dengan dasar negara Republik Indonesia, UUD 1945.

Pasal yang dimaksud adalah Pasal 28G (1) UUD 1945 yang berbunyi "Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawa kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi". Pasal 28I (2) secara eksplisit juga menyebutkan bahwa "setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".

Selain kedua pasal itu, Beka menyebutkan bahwa Instrumen HAM lainnya yang menjamin pemenuhan hak atas kebebasan juga tertuang dalam Pasal 33 UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Lebih jauh, Beka mengatakan instruksi Wali Kota Depok juga menciderai Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik Pasal 17 yang menyatakan "tidak boleh seorang pun yang dapat secara sewenang-wenang atau secara tidak sah dicampuri masalah-masalah pribadinya, keluarganya, rumah atau hubungan surat-menyuratnya, atau secara tidak sah diserang kehormatan dan nama baiknya".

Untuk itu, sebagai negara hukum, pemerintahan daerah di Indonesia menurutnya harus tunduk kepada hukum konstitusi dan seluruh norma yang ada di dalamnya, dengan tidak mengeluarkan kebijakan diskriminatif tanpa mempertimbangkan konstitusi dan hukum di Indonesia.

"Tugas utama dari pemerintah daerah atau negara adalah kemudian melindungi seluruh warga negara dan pada titik itulah sebenarnya mandat pemerintah daerah juga harus ke arah sana melindungi seluruh warga negara," ujar Beka.

"Kalau ada kejahatan yang dilakukan oleh teman-teman LGBT ya memang harus dihukum tapi kalau tidak ada alasannya ya jangan dicari-cari alasannya," pungkasnya.

Baca juga:Dr. Sameer Murtaza: Homoseksualitas Pemberian Tuhan 

Orientasi seksual vs perilaku seksual

Beka lebih jauh menjelaskan bahwa masyarakat harus paham perbedaan antara orientasi seksual dan perilaku seksual. Ia menuturkan bahwa kejahatan seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual kepada anak berada dalam kategori perilaku seksual menyimpang. Hal ini menurutnya bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak hanya LGBT.

"Kalau Pemkot Depok ngomong soal Reynhard Sinaga, itu saya sangat sepakat bahwa dia dihukum atas perilakunya bukan atas orientasi seksualnya," ujarnya.

Meski belum mendapatkan aduan terkait korban yang mengalami diskriminasi karena munculnya instruksi ini, Beka mengakui bahwa komunitas LGBT mengeluhkan bahwa dengan adanya instruksi ini, "mereka merasa lebih terancam". Selain itu, Beka juga melihat bahwa stigma terhadap komunitas LGBT menjadi lebih berat. "Beban stigmatisasi tambah kuat," tuturnya.

Instruksi Pemkot Depok munculkan kekhawatiran

Munculnya instruksi dari Wali Kota Depok untuk melakukan razia terhadap LGBT juga memunculkan kekhawatiran. Beka mengungkapkan bahwa pihaknya khawatir akan semakin banyak pemerintah daerah yang berlomba-lomba mengeluarkan kebijakan diksriminatif tanpa mempertimbangkan konstitusi dan hukum yang berjalan di Indonesia.

"Saya kira ini adalah soal kehidupan bernegara, dalam negara ada aturannya patuhilah aturan yang ada tidak mencoba membuat aturan aturan yang diskriminatif. Negara Indonesia didirikan untuk semua warga yang ada, bukan untuk satu golongan saja, membenci golongan yang lain," jelasnya.

Arus Pelangi, sebuah organisasi yang membela hak-hak LGBT di Jakarta juga mengemukakan hal senada.

"Kami takut kota-kota lain akan mengikuti aksi seperti yang diinstruksikan Wali Kota Depok karena ada banyak sekali kesalahpahaman," ujar Yuli Rustinawati, Ketua Arus Pelangi seperti dilansir dari Reuters.

Apa sebenarnya instruksi Wali Kota Depok?

Wali Kota Depok Mohammad Idris sebelumnya mengeluarkan instruksi kepada Perangkat Daerah (PD) terkait, untuk meningkatkan upaya pencegahan dan penyebaran perilaku LGBT. Instruksi ini muncul setelah kasus kekerasan seksual oleh Reynhard Sinaga di Manchester, Inggris hebohkan tanah air.

Seperti dikutip dari laman resmi Pemerintah Kota Depok, Idris meminta Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) dan Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) Kota Depok agar lebih aktif melakukan penertiban razia di rumah-rumah kos atau apartemen. Perangkat Daerah terkait juga ia sebut dapat membentuk Crisis Center di Depok yang dikhususkan bagi korban LGBT, termasuk melakukan pendekatan kepada lembaga-lembaga terkait untuk kerjasama dalam pembinaan warga atau komunitas yang mendukung LGBT.

Menurut data dari Amnesty Internasional Indonesia, komunitas LGBT di Indonesia mengalami peningkatan tindakan kekerasaan dari otoritas di Indonesia selama beberapa tahun terakhir.

Pada November 2018, Satpol PP di Padang, Sumatera Barat menahan 10 wanita yang dituduh memiliki hubungan sesama jenis setelah salah satu dari mereka mengunggah foto dirinya mencium dan memeluk wanita lain di Facebook.

Di Lampung, juga pada tahun 2018, Satpol PP melalui operasi razia "menjaga ketertiban umum" di sebuah pantai, menahan tiga orang yang mereka duga sebagai wanita transgender.

Pada Oktober 2018, Polisi di Jawa Barat menahan dua pria karena mengelola sebuah grup Facebook bernama "Facebook Gay Bandung Indonesia" atau GBI, yang memiliki anggota sebanyak 4.093 orang.

gtp/vlz (dari berbagai sumber)