1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Marak Diskriminasi, Kamboja Didik Murid Sekolah Soal LGBT+

12 Desember 2019

Maraknya diskriminasi terhadap kelompok LGBT+ mendorong pemerintah memasukkan mata pelajaran orientasi seksual dan identitas gender ke dalam kurikulum nasional. Nantinya para guru juga akan mengikuti pelatihan khusus.

https://p.dw.com/p/3Ufed
Gemüsemarkt in
Foto: picture alliance/Robert Harding World Imagery

Anak-anak sekolah Kamboja kelak akan menerima materi pelajaran tentang kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender (LGBT+) untuk menanggulangi praktik perundungan dan diskriminasi di masyarakat. Rencana tersebut akan mulai diimplementasikan pada tahun 2020 mendatang.

Nantinya anak sekolah di kelas tujuh yang rata-rata berusia 13 tahun diwajibkan mengambil modul pelajaran tentang orientasi seksual dan identitas gender. Kedua materi pelajaran tersebut termasuk ke dalam program pendidikan seks, kata Yung Kunthearith, Wakil Direktur Departemen Pendidikan Kesehatan di Kementerian Pendidikan.

Baca juga: Bagaimana Transpuan Muslim Jalani Ramadan di Pesantren al-Fatah

"Ini adalah tentang kesetaraan", kata dia kepada Reuters. "Kami ingin agar anak-anak kami menyadari isu ini dan mengetahui bahwa tidak seorangpun bisa didiskriminasi di sekolah atau di kehidupan sehari-hari."

Kamboja sejauh ini belum memiliki produk hukum yang melindungi hak sipil kelompok LGBT+. Meski tidak dianggap delik kriminal, pernikahan sesama jenis misalnya belum diakui negara. Masyarakat Kamboja belakangan secara perlahan mulai mengakui keberadaan kaum LGBT+ di negerinya.

Konstitusi yang diamandemen pada 2011 misalnya mengubah definisi pernikahan sebagai ikatan antara lawan jenis menjadi ikatan rumah tangga antara suami dan isteri. Dalam satu kasus pernikahan sesama jenis pada tahun 1995, Bhiksu Buddha dan pejabat tinggi pemerintahan provinsi ikut hadir meramaikan.

Meski demikian, laporan organisasi HAM Cambodian Center for Human Rights, menyebut satu dari tiga kasus pelecehan seksual di tempat kerja berhubungan dengan kelompok minoritas seksual tersebut.

Lembaga itu juga mencatat keluhan di mana gay atau lesbian dipaksa menikah dengan lawan jenis oleh orangtua masing-masing atau diwajibkan mengikuti terapi konversi oleh dukun untuk mengubah orientasi seksual korban.

Sebab itu mata pelajaran LGBT+ diharapkan bisa "membibit pola pikir berbasis hak sipil, sehingga anak-anak bisa menyuarakan sikap mereka untuk mengubah praktik diskriminatif di masyarakat," kata Ryan Silverio, Koordinator Regional untuk ASEAN SOGIE Caucus, sebuah lembaga advokasi hak sipil.

Baca juga: Dr. Sameer Murtaza: Homoseksualitas Pemberian Tuhan

Kebijakan tersebut menempatkan Kamboja ke dalam daftar negara progresif yang mulai membuka diri terhadap kelompok minoritas seksual. Thailand adalah negara Asia Tenggara lain yang telah lebih dulu memasukkan mata pelajaran LGBT+ ke dalam kurikulum nasional.

Untuk itu pemerintah sudah memberikan penyuluhan kepada setidaknya 3100 guru. Mereka dilatih agar bisa menyampaikan materi pelajaran dalam kerangka hak sipil, kata pegiat hak LGBT+, Srun Srorn, yang ikut merumuskan materi kurikulum bersama Kementerian Pendidikan.

Menurutnya kendati muncul penolakan oleh sekelompok guru "yang sangat homofobik," program penyuluhan diklaim diterima dengan "antusiasme." Bahkan lima orang guru memberanikan diri mengaku homoseksual di hadapan peserta. "Hal ini sudah merupakan kemenangan buat kami," kata Srun Srorn.

Menurutnya penyuluhan itu bisa mengakhiri praktik diskriminasi dan perundungan yang marak di kalangan murid dan guru.

"Kita harus mulai sekarang. Dalam waktu 10 atau 20 tahun, para murid ini akan menjadi pengusaha atau gubernur dan saat itu lah kita sudah harus berubah."

rzn/vlz (rtr,ap)