1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Revolusi Mental Yang Dimentalkan

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
6 April 2019

Sudah sejauh mana gerakan revolusi mental berjalan? Dan bagaimana dampak nyatanya di tengah-tengah masyarakat?

https://p.dw.com/p/3G1WU
Indonesische Unabhängigkeitserklärung Jahrestag 100.000 Rupien Geldschein mit Unabhängigkeitserklärung
Foto: picture alliance/dpa/B. Indahono

Belum lama, saya mengunjungi kantor Samsat Kabupaten Bogor, untuk mengurus perpanjangan STNK yang memang sudah habis masa berlaku lima tahunannya. Tentu saja, saya agak enggan karena kantor-kantor pemerintah, utamanya yang berurusan dengan pelayanan, adalah mimpi buruk bagi orang-orang yang mendambakan kenyamanan dan kemudahan tertib administrasi. Toh pada akhirnya, saya berangkat dan menjalani segala proses perpanjangan dan pembayaran pajak STNK tersebut sampai selesai, walau ada beberapa hal yang pantas digerutui.

Pertama, spanduk-spanduk seruan untuk menolak calo dan pungutan liar (pungli) sudah bertebaran, dan memang para petugas di loket-loket yang disediakan tidak menunjukkan gelagat meminta uang, namun, toh nyatanya beberapa dari mereka tidak menolak ketika masih ada orang-orang lugu yang menyodorkan uang tanpa sungkan-sungkan. Dan kedua, rasanya memang sulit untuk menghapuskan praktik calo, karena saya mengalami sendiri bagaimana orang-orang yang datang belakangan daripada saya justru urusannya lebih dahulu selesai. Ada sistem busuk tak kasat mata yang membuat hal itu terjadi.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Peristiwa tersebut menyadarkan saya bahwa seruan revolusi mental yang dahulu begitu digembar-gemborkan oleh pemerintahan Jokowi nyatanya masih sebuah hal yang yang mengawang-awang; yang dilayani masih merasa tidak enak jika tak memberi sesuatu, dan yang melayani masih tidak bisa menolak hal yang bukan haknya. Mentalitas menjengkelkan, yakni "memberi dan menerima seikhlasnya” dalam sebuah sistem yang sudah mengatur segala tata cara transaksi uang secara legal nyatanya belum benar-benar hilang sampai ini bagi banyak orang.

Lantas, sudah sejauh mana gerakan revolusi mental berjalan? Dan bagaimana dampak nyatanya di tengah-tengah masyarakat?

Revolusi Yang Bermasalah

Revolusi mental pertama kali dikemukakan pada 2014 oleh Jokowi sebagai salah satu jargon kampanye pemilihan presidennya, sekaligus watak pemerintahannya. Hal itu meliputi serangkaian proyek-proyek perbaikan radikal di segala bidang, seperti pendidikan, hukum, sosial, etos kerja, dan lain-lain, yang tujuannya adalah untuk menciptakan paradigma dan mentalitas hidup baru bagi orang-orang Indonesia yang selama ini tampak belum menjunjung tinggi nilai-nilai, antara lain, toleransi, inovasi, dan kooperasi positif. Atau gambaran besarnya, orang-orang Indonesia terkadang lebih senang menyelewengkan sistem daripada menjalankan dengan baik.

Tabiat buruk inilah yang dulu juga sempat membuat geram Presiden Sukarno. Kemerdekaan hanyalah sebuah seremoni semata jika itu tidak diikuti dengan aksi-aksi mendobrak nilai-nilai lama. Belasan tahun sejak merdeka, orang-orang Indonesia dilihatnya masih seperti hidup di masa penjajahan Belanda; mulai dari senang bertengkar di antara sesamanya sampai enggan berkompetisi untuk menjadikan hidup mereka lebih baik dalam sistem hidup merdeka. Kegeraman itu pertama kali ditumpahkannya dalam pidato berjudul "Berilah Isi Kepada Hidupmu!” pada 17 Agustus 1956 di Jakarta:

"Mental kita harus berubah! Mental kita harus berevolusi! Mental kita harus mengangkat diri kita di atas kekecilan jiwa, yang membuat kita suka geger dan eker-ekeran (berselisih paham) mempertengkarkan urusan tetek-bengek yang tidak penting,” ujar Sukarno. Lebih jauh, ia melihat bahwa kehampaan karakter orang-orang Indonesia harus dipupuk dengan tiga hal, yakni investasi keahlian, material, dan mental. Tujuan utamanya, untuk menghasilkan manusia-manusia Indonesia progresif yang tidak hanya profesional namun juga bermoral dan bersudut pandang baik.

Seruan ini bertujuan untuk melawan peninggalan sistem kolonialisme yang paling buruk, yakni karakter penjajah Belanda yang justru diadopsi oleh yang terjajah setelah merdeka. Tuan-tuan Belanda mereka yang korup dan gemar menindas yang lemah memang telah lengser, namun posisi dan birokrat-birokrat mereka menggantikan posisi dan peran mereka. Seruan Sukarno inilah yang kemudian coba dihidupkan kembali oleh Jokowi sebagai program progresif dengan konteks kekinian, namun tetap saja implementasinya terlihat samar-samar, bahkan seakan tidak jelas mau dibawa ke mana.

Tengoklah garda depan informasi perihal revolusi mental ini, yakni situs resmi revolusimental.go.id dan akun Twitter resmi @revmen_id. Selayang pandang, tidak banyak hal yang dapat dipelajari di sana untuk sebuah media informasi berdana besar dan telah berjalan selama kurang lebih 3 tahun. Sepengalaman saya, kontennya terlalu kaku, dan sulit untuk menangkap kesan serius, atau setidaknya simpatik, ketika membuka-buka kedua media tersebut. Jika daya tarik sumber informasinya minim seperti ini, bukankah pesan-pesan revolusi mental itu tak akan tersampaikan, atau bahkan, tak dihiraukan?

Masih marak korupsi

Sama halnya dengan sulitnya publik luas menangkap esensi revolusi mental, setidaknya dalam lingkup pemerintah sendiri kata-kata revolusi mental masih menjadi jargon alih-alih kerja nyata. Banyak kenalan saya yang beprofesi sebagai aparatur sipil negara kebingungan dengan konsep revolusi mental meskipun mereka paham bahwa hal tersebut adalah otokritik formal terhadap sistem organisasi kerja mereka yang selama ini berstereotip negatif. Sayangnya, tekad mereka untuk kerja cepat, tepat, dan bersih, terkadang kerap terbentur oleh masih kuatnya permainan korupsi, kolusi, dan nepotisme senior-seniornya.

Secara konsep dan implementasi, harus diakui revolusi mental belum banyak menunjukkan tajinya. Di panggung birokrasi-administrasi, ia seakan impoten. Kantor-kantor pemerintah di Indonesia masih menjadi sarang penyelewengan sehingga baik tim dari  Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) kian rajin hadir di media memberitakan temuan-temuan mereka. Mulai dari diciduknya segerombolan wakil rakyat di Malang akibat korupsi berjamaah sampai pejabat-pejabat polisi yang ditangkap akibat melakukan pungli pengurusan SIM di Kediri.

Di panggung lain, misalnya sosial-politik, kita bahkan dapat dengan gamblang menyaksikan bagaimana revolusi mental bagai angin lalu di kalangan pembesar-pembesar publik. Politik identitas menguat, pola pikir fundamental kian meresahkan, dan pilar-pilar persatuan yang berlandaskan keragaman kian tergerus oleh radikalisme dan aksi-aksi turunannya.

Akhirnya, dalam momentum Pemilihan Presiden 2019 ini, sebaiknya revolusi mental ini diapakan agar tidak hanya menjadi sebatas jargon penuh buaian?

Masa Depan Revolusi Mental

Tentu revolusi mental harus dimulai dari diri sendiri, namun, jika sang Penyeru seakan tidak serius dan akhirnya seruan itu hanya menjadi kelakar bagi orang-orang, bukankah seruan itu sia-sia? Para koruptor masih dapat dengan bebas mencalonkan dirinya kembali, bahkan, mendapatkan akses sel tahanan yang mewah. Saya memang termasuk orang yang bersimpati terhadap kelompok petahana, namun bagi saya proyek revolusi mental adalah gagasan yang terlalu tersendat-sendat, bahkan jalan di tempat, untuk disebut sebagai keberhasilan, sejauh ini.

Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia yang secara teknis bertanggung jawab langsung terhadap proyek revolusi mental ini seharusnya bisa bekerja jauh lebih baik. Harus ada inovasi yang benar-benar revolusioner untuk menawarkan gagasan revolusi mental, terlebih di zaman teknologi komunikasi yang semakin canggih ini; karena jika tidak, masa depan revolusi mental hanya akan berakhir di spanduk-spanduk dan surat-surat perintah, dan dimentalkan begitu saja oleh orang-orangnya. Mungkin sang Menteri harus mendengarkan pesan yang disampaikan oleh kakeknya sendiri, Sukarno, dalam pidato yang sama: "siapa mandek akan mati!”.

Penulis @RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.