1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kisah Santri Pengemis Cilik di Afrika Barat

Katrin Gänsler
5 Juni 2020

Di kawasan Afrika Barat, berjuta-juta anak pesantren harus mengemis untuk imam mereka setiap hari. Pandemi corona mempersulit kehidupan anak-anak itu. Solusinya hingga kini masih sulit ditemukan.

https://p.dw.com/p/3dJJi
Menjadi santri
Anak-anak di Afrika BaratFoto: DW/Katrin Gänsler

Semua orang mengenal mereka di Afrika Barat: anak laki-laki mengenakan pakaian compang-camping, memegang mangkuk plastik di tangan mereka dan meminta uang atau makanan. Mereka bergerak dalam kelompok kecil dan membaca Alquran. Mereka sering berdiri di persimpangan jalan, di stasiun bus atau mencoba peruntungan di kerumunan. Alih-alih memberikan uang kepada anak-anak, orang-orang yang lewat kadang menakut-nakuti para Almajirai ini, sebagaimana mereka disebut di Nigeria. 

Pada tahun 2014, organisasi bantuan anak-anak PBB, UNICEF memperkirakan jumlah mereka di sana saja sekitar 9,5 juta jiwa. Anak-anak ini juga dikenal di negara-negara berbahasa Prancis dengan nama Talibés. Menurut Human Rights Watch, jumlahnya lebih dari 100.000 di Senegal. 

Sistemnya serupa di mana-mana di Afrika Barat: biasanya orang tua dari daerah pedesaan mengirim putra mereka ke imam di desa dan kota yang lebih besar. Anak-anak itu masih berusia sekolah dasar. Praktik ini telah berlangsung selama 300 tahun. Bukan hal baru, dan tidak aneh lagi, kata Sheik Nuruddeen Lemu dari Institut Dakwah Studi Islam di Nigeria. "Almajiri adalah kata Haussa untuk [Al] Muhajir, yang berarti migran dalam bahasa Arab." Para imam bertanggung jawab atas pendidikan agama anak-anak, tetapi juga antara lain mengajarkan hukum pajak dan pernikahan.  

Di Nigeria, konsep Almajiri tersebar luas di kalangan kelompok etnis Haussa dan Fulani. Oleh karena itu lebih bersifat budaya daripada fenomena keagamaan.

Tetapi kondisi hidup banyak anak yang dipaksa oleh para imam untuk mengemis tersebut sangat buruk. Akomodasinya memprihatinkan. Anak-anak sering kali harus meminta-minta untuk mendapat makanan. Hukuman yang diberikan kepada mereka berupa pukulan. Tidak ada fasilitas sanitasi atau tempat peristirahatan yang aman. 

Pandemi corona berdampak sangat berbahaya bagi siswa-siswa pesantren ini. Karena kondisi hidup yang buruk, mereka dapat terinfeksi dengan mudah. Pada saat yang bersamaan, banyak orang menuduh mereka menyebarkan virus sambil mengemis. Namun, tidak ada bukti mengenai hal itu. 

Oleh karena itu, beberapa gubernur di Nigeria memutuskan untuk mendeportasi anak-anak lelaki itu ke tanah air mereka. Deportasi dilakukan di tengah malam dan kadang-kadang dengan penggunaan kekerasan.  

Nasir El-Rufai adalah gubernur negara bagian Kaduna, yang pemerintahannya telah selangkah lebih maju. Mereka mengajukan rancangan undang-undang ke parlemen untuk melarang Almajirai. "Kami melarang sistem itu dan ingin setiap anak tinggal bersama orang tua mereka. Mereka  harus menerima pendidikan modern di pagi hari dan kelas belajar  Alquran di sore hari," kata El-Rufai. 

Namun tidak semua orang sependapat dengan El-Rufai. "Saya rasa membawa mereka kembali ke desa asalnya, tidak akan membantu situasinya jadi lebih baik. Ada alasan mengapa mereka meninggalkan tempat-tempat asal mereka," kata Hannah Hoechner.  

Dosen di Universitas East Anglia di Inggris ini telah melakukan penelitian di sekolah-sekolah Alquran di Nigeria Utara dan Senegal. "Keluarga-keluarga di sana mengalami kesulitan memberi makan anak-anaknya.” Alih-alih mendeportasi anak-anak, ekonomi pedesaan harus diperkuat dulu, ujarnya. 

Mengambil contoh dari Mali 

Tuntutan lainnya adalah mereformasi sistem secara fundamental. "Pesanteran menawarkan pendidikan agam yang dianggap sangat berguna," ujar Peter Hawkins, perwakilan UNICEF di Nigeria. Namun, transparansi dan standarnya masih kurang. 

"Kita tidak tahu pengetahuan apa yang disampaikan kepada anak-anak dan bagaimana mereka berkembang. Namun, kita tahu bahwa anak-anak dan remaja dari sistem ini mengalami kesulitan di pasar kerja. Mereka merasa sulit untuk beradaptasi." 

Yang bisa jadi panutan adalah sekolah-sekolah Prancis-Arab, yang ada di negara-negara berbahasa Prancis seperti Mali,

Selama bertahun-tahun, organisasi nonpemerintah telah berkampanye dan secara bertahap juga mendekati para imam. Anak-anak menerima pelajaran Alquran, tetapi matematika dan bahasa Prancis juga dimasukkan ke jadwal kurikulum. Semakin banyak anak perempuan menghadiri sekolah-sekolah ini. Ada sistem serupa di Nigeria yang disebut Islamiyya. 

Masyarakat ikut bertanggung jawab 

Namun Hannah Hoechner mengatakan sekolah  seperti itu tidak menyelesaikan semua masalah. Karena orang tua masih harus membayar biaya sekolah, serta seragam dan bahan pelajaran. Sekolah-sekolah pesantren memiliki keuntungan lain, ungkapnya: "Mereka beradaptasi dengan budaya siklus kerja. Para siswa liburan ketika mereka harus membantu orang tua mereka di ladang," kata Hannah Hoechner. "Setelah itu, mereka dapat dengan mudah kembali, hal ini tidak terjadi dengan sekolah-sekolah Islamiyya dan Franco Arabes (Prancis-Arab)." 

Mohammed Sabo Keana, pendiri "Inisiatif untuk Hak-Hak Anak Almajiri", karena itu menyerukan perumusan konsep baru. Organisasi, yang membantu para Almajirai di Nigeria utara, menyarankan agar sekolah tidak lagi dijalankan hanya oleh masing-masing imam, tetapi ditanggung pula oleh masyarakat desa. 

Menurutnya, negara, orang tua, dan masyarakat harus berpartisipasi secara setara dan memastikan, antara lain, pembiayaan berkelanjutan. "Tapi yang kita butuhkan adalah sistem aturan," kata Mohammed Sabo Keana.  

 

(ap/ml)