1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Thailand Diguncang Tuntutan Reformasi Monarki

21 September 2020

Gelombang protes antipemerintah di Thailand terus-menerus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Massa serukan pengunduran diri PM Prayuth Chan-ocha dan menuntut reformasi monarki Kerajaan Thailand.

https://p.dw.com/p/3imod
Unjuk rasa pro-demokrasi Thailand
Unjuk rasa pro-demokrasi di Bangkok, Thailand, Minggu (20/09) Foto: Mladen Antonov/AFP

Gelombang aksi pendukung demokrasi terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir di Thailand. Unjuk rasa yang menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha ini dimulai setelah Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand membekukan partai oposisi pemerintahan paling vokal, Thai Raksa Chart. Pembekuan ini dinilai semakin menguntungkan penguasa junta militer, PM Prayuth.

Sempat berhenti karena pandemi corona, unjuk rasa yang dipimpin oleh kelompok mahasiswa pun kembali digelar Juli lalu dan terus berlangsung hingga kini. Selama dua bulan gelombang unjuk rasa kian meningkat, para demonstran juga menuntut adanya reformasi monarki di Kerajaan Thailand.

Apa tuntutan pengunjuk rasa?

Sedikitnya ada 10 tuntutan dalam aksi protes terhadap pemerintah di ibu kota Thailand, Bangkok. Tuntutannya antara lain pelengseran pemerintah, amandemen konstitusi yang dibuat militer, pelaksanaan pemilu, serta mendesak reformasi monarki Raja Maha Vajiralongkorn.

Di Negeri Gajah Putih sendiri, kritik terhadap raja dan monarki adalah hal yang tabu. Pelanggarnya bisa dijerat dengan Undang-Undang Lese Majeste dengan ancaman pidana 3-15 tahun penjara.

PM Prayuth menegaskan bahwa pemerintah mengizinkan unjuk rasa, namun mengkritik monarki sudah melanggar batas.

Prayuth memenangkan pemilu tahun lalu, yang oleh oposisi diyakini telah dimanipulasi. Amarah rakyat semakin tersulut oleh dugaan korupsi, penangkapan sejumlah aktivis mahasiswa, dan dampak ekonomi pandemi corona.

Aktivis kritik mundurnya demokrasi

Sejumlah aktivis pendukung demokrasi menyebut bahwa sistem monarki Kerajaan Thailand - monarki absolut yang berubah menjadi monarki konstitusional tahun 1932 - mengalami kemunduran. Sistem pemerintahan saat ini sangat dekat dengan pengaruh militer dan mengekang demokrasi.

Mereka juga menuntut akuntabilitas keuangan istana kepada Raja Maha Vajiralongkorn, yang menggantikan ayahnya Raja Bhumibol Adulyadej yang meninggal pada tahun 2016 lalu.

Berbeda dengan sang ayah yang dihormati rakyat, Raja Vajiralongkorn tercatat sering terlibat skandal. Ia juga dikenal dengan gaya hidupnya yang mewah. Nilai total kekayaannya diperkirakan mencapai 60 miliar dolar AS atau setara dengan Rp 840 triliun.

Bahkan pada akhir Maret lalu, media Jerman melaporkan bahwa raja berwisata di sekitar Jerman menggunakan pesawat pribadi Boeing 737 untuk mengunjungi Hannover, Leipzig, dan Dresden. Ia diketahui tinggal sementara di sebuah hotel mewah di Pegunungan Alpen Bavaria, Jerman, selama pandemi melanda, ketika Thailand bergulat dengan peningkatan kasus corona.

Raja Maha Vajiralongkorn
Raja Maha Vajiralongkorn terkenal dengan gaya hidup mewahnyaFoto: picture-alliance/Royal Press Europe/A. Nieboer

Unjuk rasa terbesar

Pada Minggu (20/09) pagi, sejumlah pengunjuk rasa memasang plakat di tanah di sebelah Istana Agung Thailand, yang dikenal dengan kawasan Sanam Luang

Menurut media lokal yakni Bangkok Khaosod, plakat tersebut bertuliskan: “Biarkan rakyat mengetahui bahwa negara adalah milik rakyat bukan milik raja, seperti selama ini mereka menipu kita.”

Namun, tidak sampai sehari, plakat tersebut telah hilang dan tertutup dengan tambalan semen.
Wakil Kepala Polisi Bangkok, Piya Tawichai, mengatakan kepada kantor berita Jerman dpa pada Senin (21/09) bahwa polisi sedang menyelidiki hilangnya plakat tersebut.

Plakat tersebut menyerupai aslinya yang ditanam pada tahun 1936 sebagai lambang transisi Thailand dari monarki absolut menjadi monarki konstitusional. Tetapi plakat tersebut hilang secara misterus pada tahun 2017, setahun setelah  Raja Vajiralongkorn dilantik. Polisi menyebut para aktivis yang memasang plakat tersebut terancam dengan hukuman perusakan fasilitas umum.

Sekitar 20 ribu pengunjuk rasa yang menuntut demokrasi turun ke jalan-jalan di Kota Bangkok selama akhir pekan kemarin, menjadikannya unjuk rasa terbesar dalam  beberapa bulan terakhir. Di bawah guyuran hujan mereka menyerukan pengunduran diri PM Thailand Prayuth Chan-ocha dan menuntut reformasi monarki kerajaan Thailand.

Sejauh ini dilaporkan puluhan pengunjuk rasa ditangkap.

“Hancurkan feodalisme, hidup rakyat! Hancurkan kediktatoran, hidup demokrasi!” Demikian seruan para pengunjuk rasa dalam demostrasi mereka.

rap/ae (AFP, Reuters, dpa)