1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyintas 65: Di Ujung Senja dan Menanti Keadilan

29 September 2021

Penyintas peristiwa 1965 sebagian telah tiada, sebagian lagi memasuki usia senja. Apakah kini saat yang paling tepat bagi pemerintah untuk melakukan pemulihan dan rehabilitasi terhadap korban 1965?

https://p.dw.com/p/412XQ
Bedjo Untung, ketua YPKP
Bedjo Untung, etua dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65,Foto: privat

Mata Bedjo Untung menerawang, mengingat kembali peristiwa 1965 saat ia tergabung dengan Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia yang dianggap berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia. Usianya kala itu baru 17 tahun. "Dari Pemalang saya dikejar-kejar, bersembunyi dalam pelarian dan akhirnya ditangkap lima tahun kemudian di Jakarta dan dibawa ke tempat interogasi Gunung Sahari", kenangnya.

"Saya mengalami kurang gizi dan kaki saya sampai bengkak. Saya ditelanjangi dengan hanya bersisa celana dalam, merasakan sengatan setrum yang dilakukan petugas interogasi, rasanya seperti mengalami pukulan bertubi-tubi, itu terjadi berkali-kali. Saya makan nasi tanpa lauk kadang bercampur pasir, paling nasinya hanya tiga sendok,” kisahnya. Ia mengaku melihat beberapa orang bunuh diri karena tidak kuat disiksa aparat. Lalu setahun kemudian, pada tahun 1971 dibawa  ke Penjara Salemba. 

Dua tahun kemudian, Bedjo Untung dipindahkan ke sebuah kamp kerja paksa di Tangerang untuk menjalani hukuman kerja paksa selama beberapa tahun. Di sini pun, ia bercerita, tidak mendapat cukup makan. "Kadang nasi ditambah sayur bayam, atau sepotong tempe tanpa atau sedikit bumbu. Akhirnya saya sempat makan anak tikus, saya telan begitu saja, karena lapar dan butuh protein. Kami terpaksa makan ular, bekicot, bahkan pernah juga kucing, anjing, karena benar-benar kekurangan makan dan harus bertahan hidup. Total hukuman yang dijalani sembilan tahun, tanpa proses hukum yang jelas, hingga akhirnya tahun 1979 dibebaskan," tutur Bedjo.

Kini ia aktif sebagai ketua dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 65 (YPKP 65), yang melakukan penelitian korban-korban Tragedi 1965. "Korban 65 yang masih hidup, saya bisa katakan paling sedikit ada 10 ribu orang. Asumsi saya, setiap kali saya datang di kota-kota cabang YPKP 65, itu berkumpul ratusan. Di Pemalang ada 200-an orang, di Pekalongan ada 200, di Pati lebih banyak lagi, ribuan. Tapi memang ada beberapa kota yang banyak korban yang tidak berani muncul," tandas Bedjo yang juga beberapa tahun belakangan aktif dalam Aksi Kamisan, mendesak tanggung jawab pemerintah dalam menuntaskan kasus-kasus hak asasi manusia.

"Perlu kita ketahui, bahwa tahun 1965 organisasi PKI itu anggotanya ada tiga juta orang, dengan organisasi massa di bawahnya sekitar 26 juta. Kalau yang betul-betul dibunuh itu ada tiga juta orang, masih banyak yang masih hidup. Namun demikian, persoalannya, banyak para korban yang tidak berani muncul karena trauma berat. Saya hanya mengambil angka yang paling kecil saja, 10 ribu orang yang masih hidup, mungkin itu paling sedikit. Untuk angka tepatnya, ini adalah tugas negara untuk melakukan penelitian, YPKP tidak punya kemampuan untuk mendata seluruh Indonesia. Korban 65, tersebar di seluruh Indonesia," tandas Bedjo.

Kerap bertemu dengan penyintas 65 yang masih hidup, Bedjo bercerita, korban langsung dari peristiwa 1965 yang masih hidup, rata-rata usianya di atas 70 sampai 80 tahun. "Mereka hidup dalam kesulitan ekonomi dan kesehatan yang sangat memprihatinkan. Saya selalu mengatakan bahwa hingga 10 tahun yang akan datang, bisa kami katakan korban 65 bisa habis, karena sudah usia sepuh. Umumnya, mereka hanya hidup menggantungkan diri dari anak cucunya yang juga hidupnya seadanya," tuturnya. Karena itu, sekarang ini menurutnya adalah saat yang paling tepat bagi pemerintah untuk melakukan pemulihan dan rehabilitasi terhadap korban 65.

Korban 65 mengkritisi media

Bedjo Untung mengkritisi peran media dalam ikut menyebarkan persoalan 65, yang menurutnya masih sangat terbatas dan tidak objektif. "Ada beberapa surat kabar yang sengaja mengusung isu 65 justru untuk menyebarkan teror, untuk melanggengkan seolah-oleh korban 65 adalah penerus dari PKI, dan itu perlu diwaspadai. Hanya ada beberapa media yang berani melakukan penelitian bersama YPKP, dan ingin membongkar kebohongan di zaman Orde Baru," ujarnya.

Menurutnya banyak sekali korban dari peristiwa 1965 yang mengalami ketidakadilan, bahkan penderitaan berat. "Diperkerjakan secara paksa di Pulau Buru, di Kalisosok, di Pekalongan, di mana-mana, atau di Banten, itu luar biasa (penderitaannya),” kata Bedjo. "Inilah apa yang seharusnya para jurnalis berani tuliskan fakta apa adanya. Peran media, itu harus berani menyiarkan apa yang dikatakan oleh para korban. Jadi, sekarang ini yang ada, media itu baru menyiarkan biasanya hanya dari kerangka kehebohannya. Misalnya, ketika FPI atau organisasi lain menyerbu LBH, itu yang disiarkan. Kemudian ketika YPKP diserbu saat ada di Cianjur, itu saja yang disiarkan, tetapi latar belakang yang sesungguhnya belum diungkap," tandasnya.

Beragam narasi dan desakan mengungkap kebenaran

Namun sangat sulit mengungkap latar belakang berkaitan dengan ragam narasi tentang tragedi itu sendiri. Di masyarakat mengemuka berbagai ragam narasi terkait  Peristiwa 1965. Fakta yang juga mencuat dari dokumen Amerika Serikat, menurut peneliti sosiologi Geger Riyanto, terkait adanya peran kekuatan politik besar di Indonesia yang memuluskan tragedi tersebut.  Geger beranggapan hal itu pun bukan fakta yang baru diketahui kemarin sore. 

"Penyelidikan Jess Melvin, misalnya, menemukan adanya komando militer yang terstruktur dan rapi yang memantik dan mengarahkan pembersihan komunis di Aceh. Dan tidak ada sejarawan penggiat isu 1965 yang rasanya tak mengetahui kancah Resimen Para Komando Angkatan Darat—satu unit paramiliter yang bergerak ke sana-kemari mempersenjatai kalangan sipil untuk menghabisi komunis dan para simpatisannya," demikian opini Geger Riyanto.

Cerita-cerita ihwal 1965 kini tidak lagi menjadi mitos yang dikembangkan rezim untuk menjaga kelanggengannya. Tetapi menurut Geger bermutasi menjadi komoditas politik yang menjadikannya malah lebih marak direproduksi di mana-mana. Dalam situasi ini, bagaimana kita mengharapkan adanya pengungkapan terhadap kebenaran sejarah 1965?" demikian kritik Geger.

Sementara bagaimana tanggapan dari sejarawan? PKI jelas sudah mati secara hukum, namun musuh-musuhnya mengabadikannya, ujar sejarawan Rahadian Rundjan. Ia beropini, PKI menjadi sebuah episode yang muram, khususnya bagi orang-orang tidak bersalah yang selama ini terseret dan terdzalimi setiap kali isu-isu PKI hadir di tengah-tengah masyarakat. "Saya tidak melihat jalan untuk menyibak tabir Peristiwa 1965 hingga terbuka, selama jejaring oligarki Indonesia yang saat ini tengah berkuasa masih eksis. Fakta-fakta baru yang mulai dipublikasikan beberapa tahun belakangan, belum mampu menarik simpati mereka untuk setidaknya mempelajari lebih baik hantu yang mereka takutkan tersebut," tambahnya.

Jadi berapa lama lagi bagi Bedjo Untung dan rekan-rekannya menanti datangnya keadilan? Di suatu senja Bedjo bertemu dengan dua anak muda dari Jerman saat ia pulang dari Aksi Kamisan. Anak muda itu menawarinya sepiring nasi dan soto ayam dan membekalinya makanan untuk dibawa pulang. Mereka tahu, hari itu Bedjo menghabiskan waktu di bus untuk ikut Aksi Kamisan, dan hanya berbekal nasi putih untuk makan siang. Tanpa lauk, sebagaimana dulu kerap dialaminya ketika masih ditahan. Kedua anak muda itu meneteskan air mata mendengar kisah penderitaan dan perjuangan Bedjo untuk mencari keadilan bagi dirinya dan para korban HAM di Indonesia. Namun di seberang meja makan itu, mata Bedjo tetap berbinar menanti cahaya keadilan akan datang.

 

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW Indonesia. Terima kasih.