1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Glorifikasi Taliban pada Pelaku Bom Bunuh Diri Tuai Kecaman

Hussain Sirat | Ahmad Hakimi
2 November 2021

Upacara penghormatan kepada pelaku bom bunuh diri Taliban beberapa waktu lalu dihujani kritik keras dari warga Afganistan. Para keluarga korban mengaku muak dengan pemuliaan yang diberikan kepada para pelaku.

https://p.dw.com/p/42SXm
Foto seorang perempuan Afganistan mengunjungi makam keluarganya yang tewas dalam serangan bom bunuh diri di Kabul
Foto seorang perempuan Afganistan mengunjungi makam keluarganya yang tewas dalam serangan bom bunuh diri di KabulFoto: picture alliance/AA/H. Sabawoon

Ketika Sharifa (19) mendengar berita tentang Taliban "menghormati" pelaku bom bunuh diri yang menewaskan anggota keluarganya, tangis Sharifa pecah. Sharifa kehilangan ayahnya dalam serangan bom bunuh diri tahun 2018 di Kabul.

"Ini seperti menggosok garam di atas luka," katanya seraya menangis.

Pada 20 Oktober, Sirajuddin Haqqani, menteri dalam negeri sementara Taliban, memuji "pengorbanan" para pembom bunuh diri, yang melakukan serangan kekerasan yang tak terhitung jumlahnya di Afganistan selama 20 tahun pendudukan AS di negara itu.

Pada upacara di sebuah hotel di Kabul, Haqqani menghadiahi kerabat pelaku bom bunuh diri dengan menawarkan uang dan tanah.

Qari Saeed Khosty, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Taliban, mengatakan dalam sebuah cuitan bahwa Taliban tidak dapat kembali berkuasa tanpa bantuan dari para pelaku bom bunuh diri.

Glorifikasi terhadap pelaku bom bunuh diri oleh Taliban membuat marah banyak warga Afganistan, terutama mereka yang kehilangan orang yang mereka cintai dalam serangan bom bunuh diri.

"Ketika saya mendengar bahwa alih-alih membantu kami, mereka (Taliban) menyanjung mereka yang dengan sengaja membunuh diri mereka sendiri dan orang lain, hati saya pilu," kata Sharifa kepada DW melalui sambungan telepon.

Pada tahun 2018, seorang pelaku bom bunuh diri Taliban menargetkan Kementerian Dalam Negeri di Kabul, yang menewaskan 95 orang dan melukai setidaknya 185 orang. Ayah Sharifa adalah salah satu di antara korban tewas tersebut.

"Hidup kami hancur setelah kematian ayah kami. Mental ibu dan saudara laki-laki saya menjadi tidak stabil," katanya.

Bagaimana bom bunuh diri menghancurkan keluarga-keluarga

Aziz (56) juga mengalami hal serupa. Dua putranya tewas dalam dalam serangan bom bunuh diri di dekat Kabul. Pada Maret 2018, seorang pelaku bom bunuh diri "Negara Islam" Khorasan (IS-K) menargetkan orang-orang yang merayakan Nawroz, tahun baru kalender Persia, di luar Kabul. Di antara 26 orang yang tewas adalah Mehdi yang berusia 24 tahun dan Rohullah yang berusia 9 tahun.

"Kami merencanakan upacara pernikahan dan wisuda Mehdi sebelum pengeboman," kata Aziz kepada DW.

Aziz mengatakan hidupnya benar-benar berubah setelah dia kehilangan kedua putranya. Dikatakannya, dia dan istrinya tidak dapat menjalani kehidupan normal.

"Kami tidak bisa makan. Kami juga semakin jatuh ke dalam kemiskinan karena kami kehilangan putra yang memiliki penghasilan tetap," tambahnya.

Seperti Sharifa, Aziz juga mengetahui perihal upacara penghormatan Taliban untuk keluarga pelaku bom bunuh diri. "Saya tidak punya apa-apa untuk dikatakan tentang itu. Mereka mengambil putra-putra kami tanpa alasan. Hidup menjadi tidak berarti bagi saya. Mereka juga harusnya membunuh saya," katanya.

Banyak warga Afganistan yang cacat atau kehilangan pekerjaan akibat serangan bom bunuh diri di negara itu
Banyak warga Afganistan yang cacat atau kehilangan pekerjaan akibat serangan bom bunuh diri di negara ituFoto: Getty Images/AFP/S. Marai

Upacara untuk menghormati pelaku bom bunuh diri tidak hanya menyinggung keluarga korban, tetapi juga menuai kritik luas di media sosial Afganistan.

"Dalam waktu dekat, kunjungi kota tempat tinggal baru bagi pelaku bom bunuh diri di Kabul," Sayed Tariq Majidi, mantan jurnalis investigasi, mencuit pesan sarkastik di Twitter.

Hadapi dilema

Sementara Taliban memuji pelaku bom bunuh diri mereka sendiri, serangan bom bunuh diri IS-K menjadi ancaman besar bagi kekuasaan mereka.

IS-K mengaku bertanggung jawab atas serangan bunuh diri pada 15 Oktober di Masjid Syiah Fatima di Kandahar, yang menewaskan sedikitnya 100 orang. Serangan itu terjadi seminggu setelah serangan serupa di sebuah masjid di kota utara Kunduz yang menewaskan sekitar 80 orang dan melukai puluhan lainnya.

Mohammad Dawood, yang kehilangan banyak kerabat dalam serangan masjid di Kunduz, khawatir akan meningkatnya kekerasan di Afganistan.

Para analis menilai ada keretakan dalam kepemimpinan Taliban tentang bagaimana menjalankan negara. Sementara faksi garis keras, termasuk Jaringan Haqqani, ingin mengambil tindakan yang lebih ketat. Sementara itu, beberapa komandan lebih memilih pendekatan "moderat" untuk menghilangkan kekhawatiran Barat tentang hak asasi manusia dan kebebasan berbicara.

Pemerintah Taliban sangat membutuhkan bantuan asing di tengah krisis ekonomi yang memburuk di negara itu. Pada saat yang sama, kelompok fundamentalis Islam ini tidak mampu kehilangan kader dan pejuang garis keras mereka, yang dapat berpaling dan bergabung dengan barisan IS-K. Maka itu, sejumlah pengamat berpendapat bahwa penghormatan pelaku bom bunuh diri tersebut dilihat dalam sudut pandang ini.

(Ed: rap/yf)