1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalan Baru Penyelesaian Kasus HAM Papua

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
6 Desember 2018

Pembunuhan terhadap beberapa pekerja konstruksi di Papua, mencuatkan lagi luka di Bumi Cendrawasih itu. Dalam masalah HAM, Papua adalah paradoks. Mengapa demikian? Simak opini Aris Santoso berikut ini.

https://p.dw.com/p/38fSs
Indonesien Joko Widodo Einweihung Zeitkapsel-Denkmal
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres

Papua adalah masalah kompleks, selalu menjadi beban setiap rezim. Tidak ada rezim yang secara signifikan mampu merebut simpati rakyat Papua. Papua memang sudah bermasalah sejak awal, sejak proses peralihan dari pemerintah kolonial Belanda ke PBB, kemudian dari PBB ke pemerintah Indonesia. Tentu paling krusial adalah fase dari PBB ke RI, karena proses berlangsung dengan intimidasi dan manipulasi.

Rantai kekerasan yang terus berlangsung hingga hari ini tidak bisa dilepaskan dari proses dekolonisasi tersebut. Kita tidak bisa menafikan fakta, bahwa proses sejarah yang berlangsung di Papua berbeda dengan wilayah lain di Tanah Air. Sejak rezim-rezim sebelumnya, elite politik di Jakarta senantiasa gagal menangkap aspirasi rakyat Papua. Elite Jakarta biasa menggunakan kekerasan dalam meredam aspirasi rakyat Papua, seperti tindak kekerasan terhadap aksi mahasiswa Papua, di Surabaya dan Jakarta, baru-baru ini.

Aksi kekerasan dari kelompok sipil bersenjata di Nduga, bisa jadi merupakan respons atas tindakan elite Jakarta sebelumnya. Kekerasan dibalas dengan kekerasan, sementara aspirasi rakyat Papua sendiri tidak diproses. Sempat ada harapan bagi penyelesaian damai kasus HAM di Papua, ketika keluarga besar Theys Eluay mengeluarkan pernyataan deklarasi damai,  pertengahan November lalu,terkait tragedi tewasnya  Theys pada November 2001. Peristiwa ini bisa dianggap sebagai "jalan baru” dalam upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Papua.

Belum genap dua minggu, terjadi aksi kekerasan aparat, ketika menyerbu sekretariat KNPB (Komite Nasional Papua Barat), tak jauh  dari pusat kota Jayapura. Yang sulit dimengerti dalam penyerbuan itu, selain melukai beberapa orang yang  tengah  berada  dalam ruang sekretariat, aparat juga merusak  bahan makanan dan masakan yang sudah siap disajikan.

Mengapa masakan juga harus dihancurkan? Bukankan aparat tersebut bekerja utamanya adalah untuk mencari makan, untuk menyambung hidup dirinya bersama keluarganya. Sementara kita tahu, harga bahan sembako di Papua secara umum lebih mahal ketimbang di wilayah lain di Tanah Air. Dan lagi masih banyak rakyat kita yang dengan susah payah mencari sesuap nasi. Terlihat sekali  para aparat tidak memiliki empati pada nasib rakyat.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris Santoso Foto: privat

Saya sendiri kurang yakin, apakah perwira-perwira yang menjadi pimpinan satuan tersebut, memberi pengarahan untuk merusak bahan makanan. Perwira TNI (khususnya AD) sudah cukup belajar atas kasus Theys, yang menjadi noktah hitam dalam memori rakyat Papua. Sepertinya mustahil ada perbedaan kebijakan pimpinan TNI terhadap Papua, artinya kalau menghadapi kasus Papua, ditolerir bertindak lebih keras dibanding wilayah lain.

Martabat Papua

Masalah HAM di Papua sangat kompleks, karena tumpang tindih dengan isu "referendum”. Ekspresi masyarakat Papua selama ini selalu ini dihadapi dengan kekerasan oleh aparat, yang justru menambah rumit masalah.   Karena tindak kekerasan aparat bisa masuk kategori pelanggaran HAM, dan itu berdampak pada dendam, yang akan menimbulkan konflik-konflik lanjutan.

Salah satu opsi untuk kasus HAM Papua adalah dialog intensif, antara elite di Jakarta dan rakyat Papua. Hanya masalahnya, komunitas atau elemen mana yang representantif dalam membawa aspirasi masyarakat Papua. Bagian ini yang membedakan antara perjuangan rakyat Papua dan rakyat Timor Leste (masa lalu). Di Timor Leste dulu, antara aktivis kemerdekaan yang tersebar di kota-kota di tanah air, rakyat biasa, beserta para gerilyawan di belantara, memiliki aspirasi yang sama. Dan satu yang paling utama, ada organisasi (tunggal) sebagai representasi, bila diadakan perundingan dengan Jakarta atau pihak luar.

Sementara di Papua, belum ada organisasi yang solid seperti di Timor Leste dulu. Di Papua, rakyat biasa menyalurkan aspirasinya melalui kepala suku, yang bisa jadi kepala suku memiliki kepentingan subyektifnya sendiri, karena kedekatan khusus dengan elite politik setempat, dan tentu kompensasi  ikut bicara.

Sebagaimana pengalaman Opsus (operasi khusus) dulu, sebuah lembaga semi intelijen di bawah kendali Ali Moertopo, yang mengirim berkerat-kerat bir, untuk disuplai pada kepala suku. Minuman keras memang fenomena yang tipikal di Papua, sehingga bisa merambah ke ranah politik. Bisa jadi Opsus berhasil mencapai misinya, melalui "perjamuan bir”, namun sejatinya cara ini tidak etis, karena ada unsur manipulatif dalam prosesnya.

Papua adalah sebuah narasi besar. Kontradiksi di Papua sudah terjadi sejak awal 1960-an, dan terus berakumulasi hingga rezim Jokowi sekarang. Isu kedaulatan, ketimpangan sosial, pelanggaran HAM, minimnya akses di bidang kesehatan dan pendidikan, akan terus menjadi beban  bagi siapa pun yang berkuasa di negeri ini.

Tampaknya jalan menuju dialog masih panjang, namun tetap perlu dilakukan. Sambil menunggu delegasi yang representatif, para aparat dan korporasi di Papua hendaknya melakukan moratorium, dengan cara memperlakukan masyarakat Papua dengan lebih manusiawi, mengingat para aparat dan korporasi itu "numpang hidup” di tanah Papua.

Beban setiap rezim  

Pada 22 Juni 2015, Jokowi menandatangani Perpres No 75 tentang Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM) 2015 – 2019. Sayang regulasi ini hanya bagus di judul, karena bila kita telusuri, tidak ada penjelasan bagaimana peta jalan pemerintah tentang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

Komitmen penyelesaian masalah HAM di Papua,   tidak pernah terucap dari Jokowi,   meski Jokowi berkali-kali berkunjung  ke  tanah Papua. Kasus  HAM   selalu didelegasikan pada orang kepercayaanya, seperti Luhut Binsar Panjaitan, saat masih menjabat Menkopolhukam. Saat menjabat Menkopolhukam, Luhut pernah berjanji akan menyelesaikan 11 kasus pelanggaran HAM di Papua pada akhir Desember 2016, sementara sekarang sudah di penghujung tahun 2018,  dan  periode  pemerintahan Jokowi juga  sudah  hampir  habis.

Setelah posisi Menkopolhukam diberikan pada Wiranto, prospeknya lebih suram lagi. Mengingat Wiranto sendiri sering dikejar-kejar para pembela HAM, sebagai pihak yang harus bertanggung jawab pada kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Alih-alih  mencari terobosan baru, Wiranto justru  melakukan blunder  dengan usulan pembentukan DKN (Dewan  Kerukunan Nasional),   yang memperoleh  resistensi  dari  korban dan   pembela HAM.

Masalah HAM selalu menjadi dilema bagi siapa pun yang berkuasa di negeri itu, saya kira itu salah satu sebab mengapa Jokowi terkesan  pasif. Bagi para penguasa, isu HAM ibarat palang pintu kereta, yang hanya menghambat saat mobil melaju kencang. Seperti yang dialami Jokowi sekarang, di saat sedang gencar-gencarnya membangun infrastruktur, buat apa pula mengurus masalah HAM, hanya menambah beban yang tidak perlu.

Posisi  TNI

Sejak lama TNI, khususnya Angkatan Darat, berkepentingan untuk mengadakan operasi militer di Papua. Selain untuk kepentingan politis, yakni untuk menjaga integrasi nasional, sesuai motto "NKRI Harga Mati”. Operasi  diadakan untuk keperluan memelihara kemampuan tempur prajurit TNI. Untuk mengatasi gerakan bersenjata di Papua, TNI  lebih mengedepankan operasi territorial dan intelijen.

Pelanggaran HAM  di Papua  pada   umumnya  melibatkan  aparat,  itu sebabnya  diperlukan  etika khusus  bagi  anggota TNI yang  ditugaskan di Papua.   Salah satunya  adalah  jangan  mudah  terprovokasi.   Demikian juga  dengan  elemen masyarakat sipil, supaya lebih taktis dalam bertindak. Mengingat akses media masih minim di pedalaman Papua, sehingga   tidak ada yang memonitor seandainya terjadi tindak kekerasan.

Bagi aparat  sebaiknya jangan menambah derita mayoritas rakyat Papua, yang umumnya masih polos dan masih rendah  kualitas kesejahteraannya. Sebaliknya, anggota  TNI dan Polri  harus berterima kasih pada wilayah Papua, jangan ada lagi fenomena "air susu dibalas dengan air tuba”.

Jalan baru

Rintisan  rekonsialiasi  damai dari keluarga besar  Theys  kiranya bisa dijadikan model atau jalan baru menuju kedamaian  hakiki di  tanah Papua. Melalui jalan perdamaian, diharapkan  akan disusul dengan kesejahteraan, tanpa harus tergantung pada dana otsus (otonomi khusus), yang hanya menjadi "bancaan” elite politik Papua.

Satu catatan penting dari inisiatif keluarga  Theys adalah, bahwa dalam soal kemanusiaan dan peradaban, justru Jakarta yang harus banyak belajar pada masyarakat Papua. Berdasarkan asumsi selama ini, Jakarta dianggap lebih maju (baca: beradab) dari  kota-kota di Papua.

Bagi yang sempat ke Papua, segala kebisingan politik di Jakarta, sama sekali tidak terasa di pelosok Papua. Sungguh sulit dipahami, bagaimana Jakarta yang dianggap sebagai kota yang paling beradab di Tanah Air, telah berkembang menjadi kota yang dikuasai oleh sentimen primordial dan pihak yang haus kekuasaan. Jakarta telah menjadi persemaian sekumpulan predator yang haus kekuasaan, menjadikan kota ini kurang kondusif untuk ditinggali.Kini semakin banyak saja kota-kota yang kurang mengutamakan prinsip toleransi dan keberagaman,  dan   itu  jelas   bukan di Papua.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.