1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Korea Selatan Menilik Jerman sebagai Acuan Cara Reunifikasi

4 Oktober 2021

31 tahun telah berlalu sejak reunifikasi Jerman, sementara semenanjung Korea masih berselisih tentang reunifikasi Korea Selatan dan Utara, serta bagaimana biaya pembangunan kembali Korea Utara.

https://p.dw.com/p/41DgW
Tentara Korea Utara dan Korea Selatan menggunakan seragam militernya sedang berjabat tangan
Jika reunifikasi dimulai, analis memperkirakan total biaya yang dikeluarkan Korea Selatan mencapai Rp42,798 kuadriliunFoto: Reuters/South Korean Defence Ministry

Sebelum masa jabatannya habis dalam tujuh bulan ke depan, Presiden Korea Selatan Moon Jae-In dan pemerintahannya masih berkomitmen mewujudkan impian lama mereka, yaitu penyatuan kembali Semenanjung Korea dalam satu negara.

Mengingat Jerman salah satu dari sedikit negara yang berpengalaman dengan reunifikasi, Menteri Unifikasi Lee In-young berkunjung ke Eropa mendiskusikan hal yang dapat dipelajari dari reunifikasi Jerman pada tahun 1990, berikut dengan perkembangannya.

Para analisis mengatakan bahwa Moon dan Lee telah ‘frustrasi' soal kelanjutan agenda mereka dalam menggabungkan kedua Korea dalam lima tahun belakangan ini. Tapi mereka menggarisbawahi kebuntuan hubungan lintas perbatasan bukan dari pihak Korea Selatan.

Sepanjang tahun lalu, sikap penolakan dan keras kepala Pyongyang pada Seoul efektif menghentikan hubungan bilateral yang sudah terhenti, ditambah lagi upaya reunifikasi bertambah rumit karena peluncuran serangkaian rudal oleh Korea Utara. Pada Jumat (01/10) pihak Korea Utara mengonfirmasi kalau mereka sudah menguji coba rudal anti-pesawat sebelumnya, serta pada Selasa mereka meluncurkan senjata rudal luncur hipersonik berkemampuan nuklir.

AS dan Jepang mengutuk peluncuran tersebut, dan mengomentari bahwa rudal hipersonik sebagai "pelanggaran atas beberapa resolusi Dewan Keamanan PBB.

Unifikasi Korea tetap sebuah ‘prospek jangka panjang'

Pada Rabu, hari uji coba peluncuran rudal terbaru Korea Utara, Lee berangkat ke Eropa untuk berdiskusi dengan Belgia dan Swedia, sebelum akhirnya berkunjung ke Jerman.

Lee dijadwalkan hadir pada Minggu (03/10) dalam upacara peringatan 31 tahun reunifikasi Jerman, atas undangan parlemen Jerman. Dia juga berpidato mengenai hubungan antar-Korea di Freie Universität Berlin pada Sabtu (02/10), dan direncanakan akan bertemu dengan Presiden Jerman Frank-Waler Steinmeier pada Senin (04/10) guna membahas tentang pengalaman Jerman saat sebelum dan setelah reunifikasi, dan membahas potensi kebersamaan di Semenanjung Korea.

Pada tahun 1990, Jerman menghadapi sangat banyak rintangan dan hal yang tidak bisa diantisipasi beberapa tahun setelah penyatuan kedua negara tersebut, namun menurut para analis, situasi di Korea jauh lebih rumit.

Salah satu masalah utama yang perlu digarisbawahi adalah sikap Korea Utara yang menganggap bahwa hanya mereka yang sah di semenanjung tersebut. Pihak Korea Utara bersikeras jika reunifikasi nantinya akan dilaksanakan, maka harus sesuai dengan syarat dan aturan mereka. Dinasti Kim yang memerintah Semenanjung Korea diasumsikan tidak punya daya tarik bagi sebagian besar dari 52 juta penduduk Korea Selatan.

"Pemerintah akhirnya menyadari bahwa mereka kehabisan waktu dan hal yang direncanakan tidak akan terjadi, termasuk membangun hubungan baik dengan Korea Utara dan mempercepat agenda reunifikasi,” jelas Ahn Yinhay, profesor ilmu hubungan internasional di University of Seoul.

"Lee merasa frustrasi karena pihak Utara menolak untuk menyerah dan dia tidak bisa melakukan apa-apa,” jawabnya saat diwawancarai DW. "Saat ini, tidak banyak yang dapat dilakukannya, selain berkunjung ke negara yang punya pengalaman serupa, berdiskusi dengan pejabat pemerintahan dan mencoba hal tersebut berlanjut sesuai rencana.”

Leif-Eric Easlay, profesor muda ilmu hubungan internasional Ewha Womans University di Seoul setuju dengan kondisi di semenanjung terkait pihak Utara yang masih terus menentang semua harapan dan bertahan dari kelangkaan makanan, obat, sementara hampir semua kesejahteraan dapat dinikmati saudara mereka di Selatan, artinya unifikasi masih jadi sebuah "prospek jangka panjang.”

‘Unifikasi Jerman tidak bisa dijadikan panutan'

"Karena Pyongyang masih menolak banyak rencana terkait hubungan antar-Korea yang disusulkan Seoul, Lee bisa mencari dukungan dan saran dari pihak internasional,” sebutnya. "Salah satu pelajaran dari pengalaman Jerman adalah perubahan sejarah dapat terjadi secara cepat dan tak terduga, jadi koordinasi dan persiapan lebih lanjut merupakan hal penting.”

"Namun pihak Eropa menyadari bahwa unifikasi Jerman tidak dapat dijadikan contoh. Dibandingkan dengan Jerman Timur, Korea Utara terlah terisolasi cukup lama, lebih mengancam dengan senjata nuklir dan rudal, penderitaan ekonomi karena salah manajemen dan banyak terjadi pelanggaran HAM,” tambahnya.

Lebih lanjut dia menambahkan bahwa, pengaruh bertambahnya kekuatan Cina, "jadi faktor yang rumit dari pada saat Rusia di untuk Jerman.”

"Di akhir Perang Dingin, Moskow dapat diganjar karena menghormati pilihan Jerman,” sebutnya. "Beijing jauh lebih berkuasa saat ini dan ingin menjalankan kepentingannya di Semenanjung Korea.”

Meskipun ada banyak perbedaan yang jelas antara Jerman Barat dan Timur pada tahun 1990, jurang pemisah antara Korea Selatan dan Utara sangat jelas. Perekonomian pihak Utara merupakan penghasilan sebagian kecil dari penghasilan pihak Selatan, terbesar keempat di Asia dan ke-10 di dunia. Nilai PDB Korea Selatan mencapai Rp 25,7 kuadriliun dengan rata-rata pendapatan per kapita mencapai Rp 671 juta per tahunnya. Sebagai perbandingan, PDB Korea Utara diperkirakan hanya Rp 390 triliun pada tahun 2020, dengan pendapatan per kapitanya di bawah Rp 28,5 juta per tahun.

Bertahun-tahun salah mengelola perekonomian, ditambah investasi pada senjata nuklir dan rudal balistik antar benua, membuat perindustrian, agrikultur dan infrastruktur di seluruh Korea Utara secara efektif tidak dapat dioperasikan, menjadikan negara itu hanya memiliki sedikit bahan mentah yang dapat ditambang.

Jika terjadi reunifikasi, para analis mengatakan bahwa biaya yang akan ditanggung pihak Selatan dapat melebihi Rp 42.741 kuadriliun, dan diperingatkan bahwa ada kemungkinan bertambahnya biaya tambahan yang tidak terduga.

Dampak Unifikasi: Migrasi Massal

Mengingat rendahnya standar hidup di Korea Utara dan banyaknya ambisi warga negara tersebut untuk membelot, membuat Ahn yakin jika mayoritas dari 26 juta penduduk Korea Utara akan mencoba menyeberang ke Korea Selatan, dilihat dari pengalaman Jerman Barat pada tahun 1990.

Banyaknya penduduk yang dilanda kemiskinan, ditambah pembangunan kembali Korea Utara dapat mengancam kesejahteraan ekonomi Korea Selatan, sebutnya.

"Banyak pendapat yang mengatakan bahwa Korea Utara berada di ambang kehancuran selama bertahun-tahun dan baru-baru ini disebutkan dalam waktu 30 hingga 40 tahun,” sebutnya. "Namun ada kemungkinan Kim Jong Un jatuh sakit dan sekarat atau terjadi kudeta di Pyongyang. Hal ini dapat terjadi secara mendadak, dan Korea Selatan perlu mempersiapkan segala kemungkinannya,” jelasnya.

"Tapi jika bangkrut, kondisinya mungkin akan terlihat seperti di Jerman,” tambahnya. "Pihak Korea Selatan tidak bisa juga menampung banyak orang dalam waktu bersamaan, menurut saya, kita perlu menjaga perbatasan Zona Demiliterisasi agar dapat menghentikan migrasi massal, saat dunia akan saling membantu membangun kembali Korea Utara.”

(mh/hp)