1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikKorea Utara

Korut Meradang Usai Kuba Berdamai dengan Korsel

12 Maret 2024

Kuba kabarnya dicibir sebagai "bangsa pengkhianat" oleh Korea Utara, setelah diumumkan bersepakat dengan Korea Selatan untuk menjalin hubungan diplomatik. Perkembangan itu membebani relasi antara kedua negeri Komunis.

https://p.dw.com/p/4dOdz
Kunjungan Presiden Kuba di Pyongyang, 2018
Pertunjukkan seni dan budaya Kuba dalam kunjungan Presiden Kuba, Miguel Diau-Canel, di Pyongyang, 2018Foto: AP/picture alliance

Belum lama ini, Korea Selatan membukukan kemenangan diplomatik terhadap Pyongyang dengan menjalin relasi formal dengan Kuba, salah satu sekutu terbesar Korea Utara.

Persekutuan itu diumumkan pemerintah di Seoul pada pertengahan Februari lalu, dengan rencana akan membuka misi diplomatik di Havana, ibu kota Kuba. Dengan adanya perwakilan resmi, perusahaan-perusahaan Korea Selatan diharapkan akan bisa lebih mudah berpijak di kawasan Karibik

Korsel tidak mengomentari bagaimana pembukaan hubungan diplomatik akan berdampak terhadap kedekatan antara Kuba dan Korea Utara. Namun, para analis sepakat bahwa Seoul bertindak karena ingin melemahkan jaringan sekutu Pyongyang. Dan taktik semacam itu pernah pula digunakan Korea Utara di masa lalu.

Tidak ada kabar dari Pyongyang

Sejauh ini, belum ada komentar resmi dari pemerintah Korea Utara. Namun, seorang sumber di Korut yang dikutip situs berita AS, NK News, mengatakan betapa Kuba digambarkan oleh Pyongyang sebagai "bangsa pengkhianat."

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Isyarat kegusaran Pyongyang juga terlihat dari surutnya pemberitaan media pemerintah tentang Kuba. Padahal, negeri kepulauan tersebut selama ini mnjadi negara ketiga yang paling banyak dikabarkan oleh media Korut setelah Cina dan Rusia.

Menariknya, nama duta besar Kuba untuk Korut juga tidak ikut disebut dalam laporan mengenai perayaan ulang tahun Kim Jong Un pada akhir Februari lalu.

Selamat tinggal Kuba sekutu lama?

Pyongyang senang, misalnya, ketika Havana membatalkan keikutsertaan dalam Olimpiade Musim Panas Seoul 1988 sebagai solidaritas terhadap Korea Utara, ketika negara sekutu lain memilih ikut berpartisipasi. 

"Tentunya hal ini akan mengejutkan Korut. Hal yang juga mengejutkan adalah bagaimana mereka bisa merahasiakannya dari Pyongyang," kata Rah Jong-yil, bekas diplomat Korsel. "Kuba selama ini selalu menjadi sekutu yang loyal, tapi situasinya sudah berubah," imbuhnya.

"Sejak beberapa tahun terakhir, Korsel meningkatkan kerja sama pariwisata dan komersil dengan Kuba, dan sudah ada lebih banyak kanal komunikasi antara kedua pemerintah. Jadi, pembukaan hubungan diplomatik merupakan perkembangan yang alami bagi kedua negara."

Korut pulangkan diplomat

Mencairnya hubungan diplomatik antara Havana dan Seoul terjadi ketika Korea Utara terpaksa menutup sejumlah kedutaan besarnya di seluruh dunia, yakni di Spanyol, Hong Kong, Angola dan Uganda.

Sejumlah analis meyakini, Pyongyang ingin menghemat anggaran korps diplomatik. Tapi yang lain berpendapat bahwa Korut inginmengurangi risiko para diplomatnya membelot saat berada di luar negeri.

Pada saat yang sama, Polandia, Swedia dan beberapa negara Eropa lainnya dilaporkan mulai memeriksa fasilitas diplomatik mereka di Pyongyang, yang telah ditutup sejak tahap awal pandemi virus corona.

"Korea Utara sedang berusaha memperluas hubungan diplomatiknya, namun mereka akan terkejut jika Korea Selatan kini memiliki hubungan diplomatik dengan Kuba,” kata Kim Seong-kyung, profesor di University of North Korean Studies di Seoul.

Rah juga melihat perubahan tersebut sebagai kemunduran diplomatik bagi Korea Utara. Namun, dia berpendapat bahwa cepat atau lambat Kuba akan berusaha menjalin hubungan dengan Seoul, mengingat perbedaan kekayaan dan level pembangunan di kedua negara Semenanjung Korea.

"Korea Utara telah kalah bersaing dengan Korea Selatan selama beberapa dekade terakhir. Jadi, sulit untuk mengatakan bahwa ada ‘persaingan' diplomatik di antara kedua pihak,” kata Rah. "Ini seperti petinju kelas berat yang menghadapi petinju kelas ringan, dan hasilnya jelas."

rzn/hp

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.