1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Tiga Masalah Luar Negeri Jerman di Tahun 2019

Christoph Hasselbach
31 Desember 2018

Mata uang Euro, konflik Ukraina-Rusia dan krisis Suriah adalah masalah kebijakan luar negeri penting yang harus diselesaikan pemerintah Jerman di tahun 2019.

https://p.dw.com/p/3AoSQ
Zettel Fragezeichen
Foto: Fotolia/ra2 Studio

1. Dilema baru Euro

Menyusul penyelamatan dramatis negara-negara yang terbelit utang, seperti Yunani, eksistensi mata uang Euro sekali lagi mengalami ketidakpastian. Ini dikatakan oleh Presiden Komisi Eropa Jean-Claude Juncker baru-baru ini. Kali ini, adalah Italia yang memerlukan perhatian khusus. Bahkan jika pemerintah Italia dan Komisi Uni Eropa menyetujui kompromi anggaran, peristiwa baru-baru ini telah meninggalkan rasa pahit: Pemerintah Italia dari Partai Movimento 5 Stelle yang populis dan partai sayap kanan Lega Nord telah secara terbuka menentang Komisi. Komisi Eropa menolak rancangan anggaran Italia karena, dalam pandangannya, utang baru terlalu tinggi.

Mantan Menteri Keuangan Jerman Wolfgang Schäuble berpendapat, itu adalah sebuah kesalahan jika percaya bahwa "utang yang lebih banyak dan defisit anggaran yang lebih tinggi akan menyelesaikan masalah Italia". Tetapi dia percaya bahwa pada akhirnya pasar keuangan akan mendisiplinkan Italia. "Saya pikir pasar akan memberi tahu mereka, bahwa Italia tidak akan mendapatkan pembiayaan apa pun," Schäuble mengatakan kepada DW pada akhir Oktober. 

Bahkan jika pertikaian besar tampak bisa dihindari, pemerintah Italia memiliki pengaruh yang kuat. Jika Komisi Uni Eropa menghukum Italia, itu justru akan memberikan lebih banyak sokongan kepada kelompok sayap kanan di seluruh Eropa. Ini tentu saja hal terakhir yang Komisi ingin lakukan beberapa bulan sebelum pemilihan Parlemen Eropa. Tetapi jika Komisi menyerah, otoritasnya akan melemah.

2. Konflik Ukraina-Rusia yang semakin intensif

Konflik antara Rusia dan Ukraina setelah pencaplokan Krimea tetap menjadi masalah yang berkelanjutan. Jerman dan Prancis telah berulang kali berupaya untuk menjadi penengah, bahkan setelah insiden di Laut Azov pada akhir November, ketika penjaga pantai Rusia menolak tiga kapal Ukraina melewati Selat Kerch. Moskow menganggap selat itu sebagai wilayah Rusia secara eksklusif. Presiden Ukraina Petro Poroshenko mengajukan banding ke UE sesaat sebelum KTT Uni Eropa di Brussels pada pertengahan Desember untuk "meningkatkan tekanan internasional terhadap Rusia."

Russland Küstenwache in der Straße von Kertsch
Kapal penjaga pantai Rusia berpatroli di Selat Kerch.Foto: picture-alliance/dpa/S. Malgavko

Namun, UE terbagi menjadi dua kubu terkait masalah sanksi terhadap Rusia. Beberapa negara ingin mengakhiri sanksi karena hal itu buruk untuk bisnis. Yang lain ingin menghukum Moskow lebih berat. Mereka juga mengkritik Jerman karena membeli gas langsung dari Rusia melalui pipa Laut Baltik, yang ingin diperluas Jerman. Menurut Kanselir Jerman Angela Merkel, para kepala negara dan pemerintah sepakat pada KTT Uni Eropa pada pertengahan Desember "bahwa tidak ada prasyarat untuk mencabut atau memfasilitasi sanksi." Namun, sanksi terhadap Rusia juga tidak diperketat.

Dalam pertemuan dengan Poroshenko, Wakil Presiden Komisi Eropa Valdis Dombrovskis menjelaskan, "Sanksi bukanlah hukuman. Sanksi adalah motivasi bagi Rusia untuk kembali ke dunia yang beradab." Angela Merkel telah berulang kali berusaha untuk melakukan dialog dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, tetapi sejauh ini gagal menemukan solusi untuk konflik dengan Ukraina.

3. Perdamaian di Timur Tengah?

Setelah lebih dari tujuh tahun perang saudara di Suriah, negara tersebut hancur total. Jutaan orang menjadi pengungsi. Sementara itu, Presiden Bashar Assad, dengan bantuan Rusia dan Iran, telah mampu memenangkan kembali hampir semua wilayah yang dikuasai pemberontak. Kelompok teroris "Negara Islam" (IS) telah kehilangan sebagian besar wilayahnya. Jerman telah mendiskusikan apakah ratusan ribu pengungsi Suriah yang saat ini tinggal di negara itu dapat kembali ke Suriah. Namun, Kementerian Luar Negeri masih menganggap situasi di Suriah sangat tidak menentu dan larangan deportasi masih ada.

Syrien l Alltag in Damaskus l Banner mit Präsident Al-Assad in Douma
Assad telah mengambil kembali hampir semua area yang berada di bawah kendali pemberontak.Foto: Reuters/M. Djurica

Tetapi pemerintah Eropa lelah denganupaya perdamaian Suriah yang sia-sia. Dalam sebuah wawancara dengan DW, Pakar Timur Tengah Guido Steinberg dari Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan meyakini bahwa pemerintah Jerman seharusnya menangani situasi dengan lebih baik. Jerman dengan sembrono "mengandalkan fakta bahwa rezim Assad akan jatuh dalam waktu singkat. Jika seseorang benar-benar ingin menggulingkan rezim, maka ia harus menawarkan dukungan militer kepada pemberontak dengan berbagai cara. Kini, Jerman bukan lagi aktor dalam konflik ini," kata Steinberg.

Pemerintah Jerman menghadapi tuduhan lain sehubungan dengan perang di Yaman, yang menurut PBB adalah krisis kemanusiaan paling serius di dunia. Jerman telah lama memasok senjata ke Arab Saudi, yang mendukung pemerintah Yaman melawan gerilyawan Huthi dan memimpin koalisi militer untuk memulihkannya. Bahkan sekarang, dengan larangan ekspor senjata ke Arab Saudi, produsen senjata Jerman, Rheinmetall, diduga terus memasok senjata ke Arab Saudi melalui anak perusahaan.

Ed.: na/ts